MAKALAH
PEMBAGIAN HUKUM SYAR’I
Disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah : Ushul Fiqih
Dosen Pengampu : Muhammad
Syaifuddin Zuhriy
Disusun Oleh:
Lailin Najihah (1404026010)
Suci Tri Maharani (1404026021)
Maulana Hendi Darmawan (1404026035)
FAKULTAS USHULUDDIN
PRODI TAFSIR HADITS
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG
2015
BAB I
PENDAHULUAN
A.
LATAR
BELAKANG
Segala amal perbuatan manusia baik dalam
perilaku, tutur kata dan seluruh aspek kehidupan manusia tidak lepas dari
ketentuan hukum syari’at. Baik yang tercantum didalam al-qur’an maupun as-sunah, maupun yang tidak tercantum pada keduanya, akan tetapi
terdapat pada sumber lain yang diakui oleh syari'at.
Sebagaimana
yang di katakan oleh imam Ghazali, bahwa mengetahui hukum syara'
merupakan buah (inti) dari ilmu Fiqh dan Ushul fiqh. Sasaran kedua
disiplin ilmu ini memang mengetahui hukum syara' yang berhubungan dengan
perbuatan orang mukallaf. Meskipun dengan tinjauan yang berbeda. Ushul fiqh
meninjau hukum syara' dari segi metodologi dan sumber-sumbernya, sementara ilmu
fiqh meninjau dari segi hasil penggalian hukum syara', yakni ketetapan Allah
yang berhubungan dengan perbuatan orang-orang mukallaf, baik berupa iqtidha
(tuntutan perintah dan larangan), takhyir (pilihan), maupun berupa wadh’i
(sebab akibat).
Oleh sebab itu,
melalui
makalah ini kami akan mencoba membahas tentang hukum syara' yang berhubungan
dengan hukum taklifi dan hukum wadhi. Yang mana keduanya
merupakan satu sub bab yang tidak bisa dipisahkan satu sama lain.
B.
RUMUSAN
MASALAH
Adapun rumusan
masalah yang akan dibahas adalah sebagai berikut :
1.
Apa
pengertian hukum syara’?
2.
Apa pengertian hukum taklifi ? Dan jelaskan
pembagian hukum taklifi!
3.
Apa pengertian hukum wadh’i? Dan jelaskan
pembagian hukum wadh’i!
C.
TUJUAN MASALAH
Adapun tujuan dari rumusan masalah diatas adalah sebagai berikut :
1.
Untuk mengetahui pengertian hukum syar’i
2. Untuk
mengetahui pengertian hukum taklifi. Dan Untuk mengetahui dan menjelaskan
pembagian hukum taklifi
3. Untuk
mengetahui dan menjelaskan pembagian hukum wadh’i. Dan Untuk mengetahui dan
menjelaskan pembagian hukum wadh’i
BAB II
PEMBAHASAN
A.
PENGERTIAN HUKUM SYARA’
Hukum syara’ atau hukum syar’i adalah gabungan dari dua kata, yaitu kata
“hukum” dan ”syara”. Kata hukum itu sendiri
berasal dari bahasa arab “al-hukmu” yang berarti memutuskan, menetapkan, dan
menyelesaikan. Dan kata hukum ini sudah menjadi kata baku dalam bahasa
indonesia[1].
Dalam memberikan arti secara definitif terhadap kata hukum, terdapat beberapa
perbedaan pendapat diantara para ulama’, yang diantaranya dapat disimpulkan
bahwa hukum adalah seperangkat peraturan tentang tingkah laku manusia yang
ditetapkan dan diakui oleh suatu negara atau kelompok masyarakat, berlaku dan
mengikuti untuk seluruh anggotanya.
Sedangkan kata syara’ secara etimologi adalah
jalan, jalan yang biasa dilalui air. Artinya adalah jalan yang biasa dilalui
manusia untuk menuju kepada Allah SWT. Dan secara sederhana berarti “ketentuan
Allah” dan didalam al-qur’an kata syara’ ini mengalami pengulangan sebanyak
lima kali yang berarti ketentuan atau jalan yang harus ditempuh. Bila kata hukum
dirangkai dengan kata syara’ yaitu “hukum syara’ “ akan berarti seperangkat
peraturan berdasarkan ketentuan Allah tentang tingkah laku manusia yang diakui
dan diyakini berlaku serta mengikat untuk semua umat yang beragama islam.[2]
Pengetahuan tentang hukum syara’ merupakan
hasil nyata dari pengetahuan tentang fiqih dan ushul fiqih. Produk dari dua
ilmu ini adalah pengetahuan tentang hukum syar’i dalam hal menyangkut tingkah
laku seorang mukallaf. Hanya saja kedua ilmu ini memandang dari arah yang
berbeda. Ilmu ushul fiqih memandang dari segi dan kearah metode pengenalannya
dan sumber yang digunakan untuk itu, sedangkan ilmu fiqih memandang dari segi
merumuskannya dengan perbuatan dalam lingkup yang digariskan oleh ushul fiqih.
Dengan demikian terdapat perbedaan pendapat antara ahli ushul fiqih dengan ahli
fiqih alam mendefinisakan hukum syar’i.
Menurut para ahli ushul fiqih, hukum syar’i
adalah khitab syar’i[3]
yang berhubungan dengan perbuatan orang mukallaf baik bersifat iqtida’
(tuntutan)[4],
takhyir (membolehkan)[5],
maupun wadh’i (menetapkan)[6].
Sedangkan ahli fiqih memberikan definisi hukum
syara’ adalah sifat yang merupakan pengaruh atau akibat yang timbul dari titah
Allah terahaap orang mukallaf itu.
Perbedaan peristilah dikalangan dua kelompok
ini terlihat pada sisi dan arah pandangan. Ushul fiqih yang fungsinya adalah
mengeluarkan hukum dari dalil memandangnya dari segi nash syara’ yang harus
dirumuskan menjadi hukum yang rinci. Karenanya ia menganggap hukum itu sebagai
tuntutan Allah yang mengandung aturan tingkah laku. Sedangkan fiqih yang
fungsinya menjelaskan hukum yang dirumuskan dari dalil memandang dari segi
ketentuan syara’ yang sudah terinci. Karenanya ia menganggap hukum itu adalah
wajib, sunah dan sebagainya yang melekat pada perbuatan mukallaf yang dikenai
hukum itu.
B.
PEMBAGIAN HUKUM SYARA’
Dari pengertian
hukum syara’ menurut istilah ahli ushul dapat disimpulkan bahwa hukum itu tidak
hanya satu macam. Karena hukum itu adakalanya berhubungan dengan perbuatan
mukallaf dalam bentuk tuntutan, pilihan atau berbentuk ketetapan. Para ahli
ushul memberi istilah pada hukum yang berhubungan dengan perbuatan mukallaf
dalam bentuk tuntutan atau pilihan dengan hukum taklifi, dan hukum yang
berhubungan dengan perbuatan mukallaf dalam bentuk ketetapan dengan hukum
wadh’i. Dari sini ditetapkan bahwa hukum syara’ itu terbagi dua macam : hukum
taklifi dan hukum wadh’i.
C.
HUKUM TAKLIFI
Hukm taklifi adalah segala sesuatu yang
menghendaki tuntutan untuk mengerjakan, meninggalkan, atau pilihan antara
keduanya. Disebut hukum taklifi karena pengenaan beban pada orang mukallaf,
baik itu melakukan atau mencegah perbuatan maupun kebolehan antara melakukan
atau mencegah perbuatan itu.
·
Contoh hukum yang menuntut kepada mukallaf
untuk berbuat :
خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِم بِهَا
وَصَلِّ عَلَيْهِمْ إِنَّ صَلاَتَكَ سَكَنٌ لَّهُمْ وَاللّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ
Artinya : Ambillah zakat
dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan
mereka dan mendo'alah untuk mereka. Sesungguhnya do'a kamu itu (menjadi)
ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (Q.S. At-Taubah :3)
وَلِلّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ
Artinya : Mengerjakan haji adalah kewajiban
manusia terhadap Allah (Q.S. Ali Imron :97)
·
Contoh hukum yang menuntut kepada mukallaf
untuk tidak berbuat :
لَا يَسْخَرْ قَومٌ مِّن قَوْمٍ
Artinya : Janganlah sekumpulan orang laki-laki
merendahkan kumpulan yang lain, boleh jadi yang ditertawakan itu lebih baik
dari mereka (Q.S. Al-Hujurat :11)
وَلاَ تَقْرَبُواْ الزِّنَى
Artinya : Dan janganlah kamu mendekati zina (Q.S.
Al-Isra’ :32)
·
Contoh hukum yang menghendaki agar mukallaf
memilih antara berbuat dan meninggalkan :
وَإِذَا حَلَلْتُمْ فَاصْطَادُواْ
Artinya : Dan apabila
kamu telah menyelesaikan ibadah haji, maka bolehlah (Q.S. Al-Maidah :2)
فَإِذَا قُضِيَتِ الصَّلَاةُ فَانتَشِرُوا فِي الْأَرْضِ
Artinya : Apabila telah
ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi (Q.S. Al-Jumu’ah :10).
D.
PEMBAGIAN
HUKUM TAKLIFI
Hukum taklifi
terbagi menjadi lima macam :
1. Wajib
Suatu perbuatan jika dikerjakan mendapatkan pahala jika tinggalkan
mendapat siksa.
Definisi wajib menurut syara’ adalah sesuatu yang dituntut oleh syar’i
untuk dikerjakan oleh mukallaf secara pasti, yakni tuntutan itu bersamaan
dengan sesuatu yang menunjukkan kepastian untuk berbuat.
Secara
sederhana wajib didefinisikan oleh ahli ushul fiqih :
الْوَا جِبُ هُوَ الْفِعْلُ اْلمَطْلُوبِ عَلَى وَجْهِ الُّلزُوْمِ
بِحَيْثِ يُثَابْ فَاعِلُهُ وَيُعَاقَبُ تَارِ كُهُ
Adalah suatu perbuatan yang dituntut Allah untuk dilakukan secara
tuntutan pasti, yang diberi ganjaran dengan pahala orang yang melakukannya
karena perbuatannya itu telah sesuai dengan kehendak yang menuntut dan diancam
dosa orang yang meninggalkannya karena bertentangan dengan kehendak yang
menuntut.
Kata luzum (اللزوم) dalam definisi tersebut berarti bahwa tuntutan untuk berbuat
itu adalah secara pasti. Lazim inilah yang membedakan antara wajib dan mandub
meskipun keduanya sama-sama dituntut untuk dilakukan. Perintah yang berati nadb
adalah perintah yang tidak pasti sehingga memungkinkan untuk tidak dikerjakan.
Dalam masalah wajib, para ushul fiqih juga bersepakat untuk mengatakan
bahwa wajib itu dapat diketahui melalui beberapa petunjuk, diantaranya :
§
Bentuk kata amar (kata
perintah).
§
Bentuk kata-kata yang
tercantum didalam kalimat itu sendiri yang menunjukkan wajib.
§
Bentuk kata-kata yang menunjukkan hukuman keras
terhadap suatu perbuatan jika ditinggalkan.
Macam-macam wajib :
Wajib ditinjau dari berbagai aspek terbagi menjadi empat, yaitu :
Ø
Wajib ditinjau dari
waktu pelaksanaannya
Wajib mutlaq adalah suatu pekerjaan yang wajib kita kerjakan tetapi tidak
ditentukan waktunya, seperti membayar kafarat.
Wajib muwaqqat aalah suatu pekerjaaan yang wajib kita kerjakan serta
ditentukan waktunya, seperti shalat wajib dan puasa ramadhan. Wajib muaqqat ini
dari segi rentang waktu yang disediakan terbagi tiga, yaitu :
Wajib muwassa’ ialah
suatu pekerjaan wajib yang diluaskan waktunya, yaitu waktunya lebih luas dari
waktu mengerjakannya. Contohnya waktu shalat fardu.
Wajib mudhayyaq ialah
pekerjaan yang disempitkan waktunya tidak melebihi kadar pekerjaan, misalnya
puasa ramadhan.
Wajib dzu syahabain
yaitu pekerjaan yang menyerepuai wajib muwassa’ dan wajib mudhayyaq, misalnya
haji.
Ø
Wajib ditinjau dari
tuntutan menunaikan atau pelaksana
Wajib ‘ainiy adalah suatu pekerjaan yang dituntut kepada setiap
individu atau perorangan, misalnya shalat lima waktu.
Wajib kifa’i atau kifaiyah adalah suatu pekerjaan yang dituntut kepada
umat secara keseluruhan, apabila seseorang diantara umat ada melaksanakan
kewajiban tersebut, maka dapat menggugurkan kewajiban pada semua orang yang
dikenai hukum wajib kifa’i, misalnya merawat jenazah, mengubur jenazah.
Ø
Wajib ditinjau dari
kadar yang dituntut atau ukurannya
Wajib muhaddad adalah kewajiban yang ditentukan syara’ kadar ukurannya,
contohnya zakat.
Wajib ghairu muhaddad adalah kewajiban yang tidak ditentukan syara’ kadar
ukurannya, seperti kewajiban membelanjakan harta dijalan Allah.
Ø
Wajib ditinjau dari
bentuk perbuatan yang dituntut atau sifat
Wajib mu’ayyan ialah kewajiban yang dituntut syara’ dengan secara
khusus, seperti membaca surat al-fatihah dalam shalat.
Wajib mukhayyar ialah suatu kewajiban yang dibolehkan memilih dari
beberapa alternatif hukum yang telah ditentukan, misalnya kafarat sumpah.
2.
Mandub (sunnah)
Mandub adalah sesuatu yang dituntut oleh syar’i untuk dilaksanakan oleh
mukallaf secara tidak pasti. Artinya pekerjaan itu disuruh kita melaksanakannya
dan diberi pahala, hanya tidak dihukum berdosa bagi yang meninggalkannya. Kata
asy-syaukani “mandub itu suatu perintah yang dipuji bagi orang yang
mengerjakannya dan tidak dicela bagi orang yang meninggalkannya”.
Macam-macam sunnah :
Ø
Dari segi selalu dan
tidak selalunya nabi melakukan perbuatan sunnah
Sunnah muakkadah yaitu perbuatan yang selalu dilakukan oleh nabi
disamping ada keterangan yang menunjukkan bahwa perbuatan itu bukanlah sesuatu
yang fardu. Contohnya shalat witir dua rakaat fajar sebelum fajar shalat subuh.
Sunnah ghairu muakkad yaitu perbuatan yang pernah dilakukan oleh oleh
nabi, tetapi nabi tidak melazimkan dirinya untuk berbuat demikian. Contohnya
shalat sunnah empat rakaaat sebelum dhuhur.
Ø
Dari segi kemungkinan
meninggalkan perbuatan
Sunnah hadyu yaitu perbuatan yang dituntut untuk melakukannya karena
begitu besar faedah yang didapat darinya dan orang yang meninggalkannya
dinyatakan sesat dan tercela. Contoh shalat berjama’ah.
Sunnah zaidah yaitu sunnah yang bila dilakukan oleh mukallaf
dinyatakanbaik tetapi bila ditinggalkan, yang meninggalkannya tidak diberi
sanki apa-apa.
Sunnah nafal yaitu perbuatan yang dituntut sebagai tambahan bagi
perbuatan wajib, contohnya shalat tahajud, shalat sunnah yang mengiringi shaalt
wajib.
3.
Tahrim (Haram)
Tahrim adalah sesuatu yang dituntut syar’i untuk tidak dikerjakan dengan
tuntutan yang pasti. Artinya, bentuk tuntutan larangan itu sendiri menunjukkan
kepastian. Dalam istilah hukum, haram ialah : مَا طَلَبَ الشَّا رِعُ
اْلكَفَّ عَنْ فِعْلِهِ عَلىَ وَ جْهِ اللُّزُوْمِ
Sesuatu yang dituntut syar’i (pembuat hukum) untuk tidak memperbuatnya
secara tuntutan yang pasti. Contoh perbuatan haram adalah membunuh, berzina
memakan bangkai dan lain-lain.
Macam-macam haram :
Haram yang menurut asalnya sendiri adalah haram (haram dzati). Artinya
bahwa hukum syara’ telah mengharamkan keharaman itu sejak dari permulaan,
seperti zina.
Haram karena sesuatu yang baru (haram ghairi dzati atau ‘ardhi). Artinya
suatu perbuatan itu pada mulannya ditetapkan oleh hukum syara’ sebagai suatu
kewajiban, kesunahan atau kebolehan, tetapi bersamaan dengan sesuatu yang baru
yang menjadikannya haram. Seperti shalat dengan menggunakan baju ghasab.
4.
Karahah (Makruh)
Makruh berati yang tidak disukai. Secara istilah sesuatu yang dituntut oleh
pembuat hukum untuk ditinggalkan dalam bentuk tuntutan yang tidak pasti.
Macam-macam makruh :
Menurut ulama’ Hanafiyah makruh dibagi menjadi dua
Ø
Makruh tahrim adalah
tuntutan meninggalkan sesuatu perbuatan secara pasti tetapi dalil yang menunjukkannya
bersifat dhanni.
Ø
Makruh tanzih yaitu
kebalikan dari mandub.
5.
Ibahah (Mubah)
Ibahah adalah aktifitas yang diperbolehkan untuk dikerjakan atau
diperbolehkan untuk tidak dikerjakan. Contohnya makan, minum dan lain-lain.
Asy-syatibi membagi mubah menjadi empat macam, yaitu :
Ø
Mubah yang mengikuti
suruhan untuk berbuat, contoh makan dan nikah.
Ø
Mubah yang mengikuti
suruhan untuk meninggalkan, bermain.
Ø
Mubah yang tidak
mengikuti sesuatu.
Ø
Mubah yang tunduk
kepada mubah itu sendiri.
6.
Rukhsah dan ‘Azimah
Rukhsah adalah sesuatu hukum yang diatur oleh syara’ karena adanya udzur
(halangan) yang menyukarkan. Contoh hukum makan bangkai diwaktu tidak ada
makanan sama sekali dan dikhawatirkan jika tidak makan bangkai maka akan mati.
‘Azimah adalah hukum yang dituntut syara’ dan bersifat umum, tidak
ditentukan berlakunya atas suatu golongan dan atau keadaan tertentu. Contoh
kewajiban menjalankan shalat lima waktu.
E.
HUKUM WADH’I
Hukum wadh’i adalah suatu ketetapan yang menghendaki sesuatu menjadi
sebab yang lain atau menjadi syarat atau penghalang bagi sesuatu yang lain[8].
·
Contoh sesuatu yamg
menjadi sebab yang lain وَالسَّارِقُ
وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُواْ أَيْدِيَهُمَا
Artinya : Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan
keduanya (Q.S.
Al-Maidah 38).
Ayat ini
menetapkan bahwa pencuri menjadi sebab
diwajibkannya memotong tangan.
·
Contoh sesuatu yang menetapkan sesuatu menjadi
syarat bagi yang lain
Hadits nabi : Tidak
sah nikah kecuali dengan kehadiran wali dan dua orang saksi. Hadits ini
menetapkan hadirnya seorang wali dan dua orang saksi menjadi syarat sahnya
nikah.
·
Contoh
sesuatu yang menetapkan sesuatu menjadi penghalang bagi sesuatu yang
lain
Hadits nabi :
Tidak sah shalatnya orang yang tidak membaca surah al-fatihah.
Hadits ini
menetapkan bahwa tidak membaca surah al-fatihah menjadi penghalang sahnya
shalat.
F.
PEMBAGIAN HUKUM WADH’I
Hukum wadh’i terbagi menjadi lima:
1. Sebab
Dalam artian lughawi sebab berarti sesuatu yang
dapat menyampaikan kepada apa yang dimaksud. Sepotong tali atau suatu jalan
dapat dinamakan “sabab” karena keduanya itu dapat membawa kepada apa yang
dituju.
Asy-syuyuti mengatakan sebab ialah
sesuatu hal yang diletakkan syara’ untuk sesuatu hokum karena adanya suatu
hikmah yang ditimbulkan oleh hukum itu.
Dalam arti
istilah dikemukakan oleh para ahli sebagai berikut :
Sesuatu yang
jelas dapat diukur yang dijadikan pembuat hukum sebagai tanda adanya hukum,
lazim dengan adanya tanda itu ada hukum dan dengan tidak adanya, tidak ada
hukum.
Contohnya :
Masuknya bulan
ramadhan menjadi pertanda datngnya kewajiban puasa ramadhan. Masuknya bulan
ramadhan adalah sesautu yang jelas dan dapat diukur apakah betul bulan ramadhan
itu sudah datang atau belum. Masuknya bulan ramadhan disebut sebab, sedangkan
datangnya bulan ramadhan disebut musabba atau hukum.
Macam-macam
sebab :
Sebab yang berada diluar batas
kemampuan mukallaf ialah sebab yang dijadikan Allah SWT sebagai pertanda atas
adanya hukum. Contohnya :
اَقِمِ الصَّلاَةَ
لِدُلُوكِ الشَّمْسِ إِلَى غَسَقِ اللَّيْلِ
Artinya : Dirikanlah
shalat karena tergelincirnya matahari sampai gelap malam. (Q.S. Al-isra’ : 78)
Sebab yang
berada dalam batas kemampuan mukallaf ialah sebab dalam bentuk perbuatan
mukallaf yang ditetapkan oleh pembuat hukum akibat hukumnya. Contohnya :
Mengqasar
shalat, perjalanan itu disebut sebab. Ia adalah perbuatan mukallaf yang
dilakukannya dengan sadar dan dalam kemampuannya. Sebab dalam bentuk perbuatan
mukallaf ini terbagi menjadi tiga macam :
Sebab dituntut
oleh pembuat untuk diadakan, artinya dituntut untuk memperbuatnya. Dituntut dalam
bentuk tuntutan meninggalkannya. Diberi izin untuk melakukannya selama berada
dalam batas kemampuan mukallaf.
2. Syarat
Syarat menurut
bahasa berati melazimkan sesautu. Syarat adalah sesuatu yang adanya hukum itu tergantung
pada adanya sesautu itu, dan tidak adanya menjadikan tidak adanya hukum. Yang
dimaksud adalah keberadaannya menurut syara’ yang dapata menimbulkan suatu
pengaruh.
Contoh syarat :
wali dalam perkawinan yang menurut jumhur ulama’ merupakan syarat. Dengan tidak
adanya wali pasti nikah tidak akan sah, tetapi dengan adanya wali belum tentu
nikah itu sah karena masih adnya syari’at lain seperti saksi, akad, dan
lainnya.
Macam-macam
syarat :
Syarat ‘aqli
seperti kehidupan menjadi syarat untuk dapat mengetahui. Adanya paham menjadi
syarat untuk adanya taklif atau beban hukum.
Syarat ‘adi
artinya berdasarkan atas kebiasaan yang berlaku.
Contohnya bersatunya api dengan bara yang dapat terbakar menjadi syarat
berlangsungnya kebakaran.
Syarat syar’i adalah syarat
berdasarkan atas penetapan syara’ yang berlaku. Contohnya sucinya badan menjadi
syarat untuk shalat. Nisab menjadi syarat wajibnya zakat.
3.
Mani’(Penghalang)
Mani’ adalah sesautu yang adanya
meniadakan hokum atau membatalkan sebab. Dalam suatu masalah, kadang sebab
syarat sudah jelas dan telah memenuhi syarat-syaratnya, tetapi ditemukan adanya
mani’ (penghalang) yang menghalangi konsekuensi hokum atas amalan tersebut.
Seperti adanya perakawinan yang sah atau adanya hokum kekerabatan, tetapi salah
satunya terhalang mendapat hak waris, misalnya perbedaan agama antar pewaris
dan ahli waris, atau ahli waris membunuh pewaris. Juga seperti adanya
pembunuhan yang disengaja dan aniaya, tetapi terhalang untuk dilakukan qishas,
karena sipembunuh adalah ayah korban itu sendiri.
Mani’ menurut istilah ulama’ ushul
fiqih adalah sesuatu yang ditemukan setelah terbukti sebabnya dan memenuhi
syaratnya, tetapi dapat menghalangi sebab dan akibat. Tidak adnya suatu syarat,
menurut istilah mereka tidak disebut mani’, meskipun dapat mengahlangi hubungan
sebab akibat.
Dalam kaitannya dengan mani’ ini,
seorang tidak diperbolehkan secara sengaja menciptakan mani’ supaya terhindar
dari tuntutan hokum syara’. Misalnya supaya terhindar dari kewajiban zakat,
seorang peternak kambing menjual satu ekor kambingnya supaya tidak mencapai
satu nisab. Perbuatan seperti ini dilarang dan pelakunya berdosa. Tindakan
seperti ini disebut dengan khiyal atau helat hokum, yaitu mencari-cari cara
agar terhindar dari tuntutan hukum syara’.
4.
Sah dan batal
Sah adalah terpenuhinya semua syarat dan rukun
paa perbuatan orang mukallaf. Sah disini membawa akibat timbulnya pengeruh dari
perbuatan tersebut secara syar’i. Jika perbuatan tersebut menyangkut ibadah,
maka ia terbebas dari tanggungannya, seperti ia dikatakan sah, dan karenanya,
ia bebas dari tuntutan melaksanakan shalat tersebut. Jika perbuatan tersebut
merupakan muamalah, seperti jual beli dan sewa menyewa, maka akibat hukum dari
tingkatan tersebut berlaku pada pihak-pihak yang mengadakan transaksi.
Batal ialah tidak terpenuhinya syarat dan
rukun pada perbuatan orang yang mukallaf. Jika satu perbuatan tidak memenuhi
syarat dan rukunya, maka ia dinamakan batal. Artinya, ia tidak menimbulkan
akibat hukum. Misalnya, shalat yang tidak sah tidak membebaskan seseorang dari
tanggung jawabnya untuk melakukan shalat, jual beli yang tidak sah tidak
mengakibatkan berpindahnya kepemilikan barang pada pembeli dan kepemilikan
harga pada penjual.
BAB III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Kata syara’ secara etimologi adalah jalan,
jalan yang biasa dilalui air. Artinya adalah jalan yang biasa dilalui manusia
untuk menuju kepada Allah SWT. Dan secara sederhana berarti “ketentuan Allah”
dan didalam al-qur’an kata syara’ ini mengalami pengulangan sebanyak lima kali
yang berarti ketentuan atau jalan yang harus ditempuh. Bila kata hukum
dirangkai dengan kata syara’ yaitu “hukum syara’ “ akan berarti seperangkat
peraturan berdasarkan ketentuan Allah tentang tingkah laku manusia yang diakui
dan diyakini berlaku serta mengikat untuk semua umat yang beragama islam. Hukum
syara’ itu terbagi dua macam : hukum taklifi dan hukum wadh’i.
Hukm taklifi adalah segala sesuatu yang
menghendaki tuntutan untuk mengerjakan, meninggalkan, atau pilihan antara
keduanya. Disebut hukum taklifi karena pengenaan beban pada orang mukallaf,
baik itu melakukan atau mencegah perbuatan maupun kebolehan antara melakukan
atau mencegah perbuatan itu. Hukum taklifi dibagi menjadi 6, yaitu : Wajib,
Mandub, Haram, Karahah, Mubah, Rukhsah dan Azimah.
Hukum wadh’i adalah
suatu ketetapan yang menghendaki sesuatu menjadi sebab yang lain atau menjadi
syarat atau penghalang bagi sesuatu yang lain. Hukum wadh’i dibagi menjadi 5,
yaitu : Sabab, Syarat, Mani’, Shah, Batal.
B.
SARAN
DAN KRITIK
Saran
dan kritik yang membangun sangat dibutuhkan oleh penulis dalam memperbaiki
makalah ini, karena penulis tahu bahwa dalam penulisan makalah ini banyak
sekali terdapat kesalahan dan jauh dari kata sempurna. Wallahu ‘alam bissawab.
DAFTAR PUSTAKA
Syarifuddin Amir. 2009. Ushul Fiqih jilid 1.
Jakarta : Kencana 2009.
Umar Muin, Tolehah Mansoer, Zahri Ahmad. 1986.
Ushul Fiqih 1. Jakarta : Departemen Agama.
Wawan Djunaeni. 2008. Fikih. Jakarta :
PT. Listakariska putra.
Ma’shum Zein. 2008. Zubdah ushul al-fiqh.
Jombang-jatim : Darul hikmah.
Suratno, Anang Zamroni. 2012. Fikih.
Jakarta : Kementrian Agama.
Abdul Wahab Khallaf. 2002. Ilmu Ushul Fiqih.
Mojokerto : Pustaka Amani-jakarta.
Suwarjin. 2012. Ushul Fiqih. Yogjakarta
: Teras.
http://www.davishare.com/2015/01/hukum-taklifi-pengertian-pembagian.html. Jum’at, 13 maret 2015. 12 :43.
[2] Amir syarifuddin. 2009. Ushul Fiqih.
Jakarta: kencana. Hal 334.
[3] Khitab Allah adalah firman Allah
secara langsung (al-qur’an) atau dengan perantara, yaitu segala hal yang
kembali pada kalam-Nya, baik berupa sunnah, ijma’, maupun semua dalil
syar’iyyah yang digariskan oleh syar’i untuk diketahui hukumnya.
[4] Iqtida’ adalah tuntutan, baik menuntut
untuk melakukan maupun meninggalkan, baik melaui jalan ilzam maupun tarjih.
[5] Takhyir adalah menyamakan antara melakukan
sesuatu atau meninggalkan sesuatu tanpa mentarjih salah satunya atau
membolehkan kedua hal tesebut dari orang mukallaf.
[6] Wadh’i adalah menetapkan sesuatu sebagai
sebab yang lain atau syarat yang alain atau mani’ yang lain.
[7] Wajib atau wujub dalam bahasa
sinonim dengan kata al-Tsubut atau al-Luzuni (artinya tetap atau positif)
al-Suquth (artinya gugur) seperti firman Allah فا ا ذا و جبت جنو بها ا ى سقطت ibnu
mandzur, lisan al-‘arab , juz 1, hal 793, atau ibnu farkah, syarakh.
[8] Suratno, anang zamroni. 2012. Fikih.
Jakarta : kementrian agama. Hal 109.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar