Senin, 16 November 2015

TAFSIR SURAT AL-BAQARAH AYAT 177 TENTANG KEBAJIKAN

A.    SURAT AL-BAQARAH AYAT 177
لَّيْسَ الْبِرَّ أَن تُوَلُّواْ وُجُوهَكُمْ قِبَلَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ وَلَـكِنَّ الْبِرَّ مَنْ آمَنَ بِاللّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ وَالْمَلآئِكَةِ وَالْكِتَابِ وَالنَّبِيِّينَ وَآتَى الْمَالَ عَلَى حُبِّهِ ذَوِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينَ وَابْنَ السَّبِيلِ وَالسَّآئِلِينَ وَفِي الرِّقَابِ وَأَقَامَ الصَّلاةَ وَآتَى الزَّكَاةَ وَالْمُوفُونَ بِعَهْدِهِمْ إِذَا عَاهَدُواْ وَالصَّابِرِينَ فِي الْبَأْسَاء والضَّرَّاء وَحِينَ الْبَأْسِ أُولَـئِكَ الَّذِينَ صَدَقُوا وَأُولَـئِكَ هُمُ الْمُتَّقُونَ

B.     TERJEMAHAN
”Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa.”

C.     PENJELASAN KEBAHASAAN
Hamzah an Hafsh membaca kata  الْبِرَّ dengan menggunakan harakat fathah, karena dinasabkan oleh kata لَّيْسَ , dan kata لَّيْسَ termasuk saudaranya كان yang menasabkan kata benda pertama (isim) dan merafa’kan kata benda kedua (khabar). Namun pada ayat ini kata الْبِرَّ menempati posisi khabar لَّيْسَ dan kalimat أَن تُوَلُّواْ menempati posisi isim لَّيْسَ. Peletakan ini terjadi, karena mashdar (kata benda) pertama dari isim لَّيْسَ haruslah sebuah kata yang tidak dapat dinakirahkan , sedangkan kata kerja pada ayat أَن تُوَلُّواْ lebih diunggulkan untuk menjadi kata ma’rifat.

D.    ASBABUN NUZUL

Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir ath-thabari, imam Qurtubi dan Ibnul Mundzir yang bersumber dari Qatadah: Bahwa turunnya ayat tersebut di atas (Al-Baqarah ayat 177) sehubungan dengan pertanyaan seorang laki-laki yang ditujukan kepada Rasulullah Saw tentang “Al-Birr” (kebaikan). Maka turunlah ayat ini.
Sebuah riwayat dari Qatadah lainnya menyebutkan : pada masa sebelum diturunkanya syari’at kewajiban, jika seseorang telah mengucap syahadat “Asyhadu alla ilaaha illallah, wa asyhadu anna Muhammadan ‘abduhu warasuuluhu”, kemudian meninggal disaat ia tetap beriman maka bisa dipastikan akan memperoleh surga. Lalu setelah itu Allah menurunkan ayat ini.
Riwayat lain dari Rabi’ dan juga Qatadah menyebutkan : ayat ini diturunkan kepada orang-orang yahudi dan nasrani, karena mereka berselisih pendapat mengenai arah kiblat. Orang-orang yahudi berkiblat ke arah barat, tepatnya baitul maqdis, sedangkan orang-orang nasrani berkiblat kearah timur, tepatnya terbitnya matahari. Lalu mereka berdebat mengenai pemindahan kiblat tersebut, dan setiap kelompok mempertahankan kiblat yang mereka miliki. Lalu turunlah ayat ini.
Riwayat oleh Ibnu Abbas, Mujahid, Adh-dhahak, Atha’, Sufyan dan juga Az-zujaj menyebutkan: pada saat Nabi melakukan hijrah ke kota Madinah, disanalah diwajibkannya segala kewajiban (selain shalat), dan kiblatpun dipindah kearah ka’bah di masjidil haram, kemudian ditetapkan juga pada saat itu segala hukuman. Lalu turunlah ayat ini.
Riwayat oleh Ad-daruquthni dari Fatimah binti Qais, ia berkata Rasulullah pernah bersabda  ان في المال لحقا سوى الزكاة “sesungguhnya didalam harta itu ada kewajibanselain zakat”. Lalu turunlah ayat ini.   
E.     MUNASABAH AYAT
Ayat sebelumnya menyeru orang mu`min untuk memakan yang halal dan menjauhi yang haram, kemudian mengecam orang yang menyembunyikan hukum Allah. Dengan demikian tegaslah bahwa orang mu`min tidak boleh menyembunyikan kebenaran. Orang yang menyembunyikan kebenaran, sama dengan meniru orang yang tidak beriman. Ayat berikutnya mengungkap sifat mu`min yang senantiasa menjalankan kebaikan.
F. PENJELASAN PENAFSIRAN
1.  لَيْسَ الْبِرَّ أَنْ تُوَلُّوا وُجُوهَكُمْ قِبَلَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan,
Ketika perpindahan qiblat dari al-Masjid al-Aqsha ke al-Masjid al-Haram, orang yahudi dan nashrani beranggapan bahwa kaum muslimin mempunyai kiblat yang kurang baik. Sementara kaum muslimin pun beranggapan bahwa kiblat yahudi ke barat, dan kiblat nashara ke timur, juga tidak akan mendapat kebajikan. Ayat ini sebagai penegasan bahwa kebaikan bukan ditentukan oleh arah kiblat. Arah kiblat hanya berfungsi sebagai kesatuan arah, bukan prinsip ibadah. Adapun pengertian al-Birr secara tafsirnya pernah dipertanyakan oleh النَّوَّاسِ بْنِ سِمْعَانَ الْأَنْصَارِيِّ  dia mengatakan:سَأَلْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ الْبِرِّ وَالْإِثْمِ فَقَالَ الْبِرُّ حُسْنُ الْخُلُقِ وَالْإِثْمُ مَا حَاكَ فِي صَدْرِكَ وَكَرِهْتَ أَنْ يَطَّلِعَ عَلَيْهِ النَّاسُ saya bertanya pada Rasul tentang arti al-Bir dan al-Itsm. Rasul SAW bersabda: bahwa al-Birr adalah budi pekerti yang baik. Sedangkan al-Itsm ialah apa yang terbetik di hatimu, dan kamu sendiri tidak senanag tatkala manusia mengetahuinya. Hr. Muslim.
Dengan demikian hakikat kebaikan bukan terletak pada arah ke mana menghadap, bukan ditentukan oleh kemana berkiblat.

2. وَلَكِنَّ الْبِرَّ مَنْ آَمَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآَخِرِ وَالْمَلَائِكَةِ وَالْكِتَابِ وَالنَّبِيِّينَakan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab2, nabi-nabi
Iman merupakan asas yang mendasar dalam kebaikan. Tidak termasuk kebaikan yang sempurna tanpa didasari iman. Rukun iman pada ayat ini disebut iman pada Allah, hari akhir, mala`ikat dan kitab serta para nabi. Dalam hadits diterangkan lebih rinci bahwa rukun iman itu adalah enam. Rasul SAW bersabda: أَنْ تُؤْمِنَ بِاللَّهِ وَمَلَائِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ وَبِالْقَدَرِ خَيْرِهِ وَشَرِّهِ iman adalah beriman pada Allah, mala`ikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para rasul-Nya, pada hari akhir dan pada taqdir baik dan buruknya. Hr. Ahmad. Dengan demikian kepercayaan seratus prosen hanyalah kepada yang enam yang disebutkan dalam hadits ini. Tidak ada yang mesti dipercayai sepenuhnya selain pada apa yang tersirat dan tersurat pada rukun iman tersebut. Inilah perinsip pertama dan utama untuk mencapai derajat kebaikan. Itulah sebabnya ulama aqidah memberikan definsi iman dengan التَّصْدِيْق بِمَا جَاء بهِ النَّبِي صلى الله عليه وسلم membenarkan apa yang dibawa oleh nabi Muhammad SAW, yang diucapkan oleh lisan, diyakini dalam hati serta diwujudkan dalam amal perbuatan.

3. وَآَتَى الْمَالَ عَلَى حُبِّهِ ذَوِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينَ وَابْنَ السَّبِيلِ وَالسَّائِلِينَ وَفِي الرِّقَابِ dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya,
Dasar kebaikan yang kedua adalah menjalin hubungan baik dengan sesama manusia dengan cara menysihkan harta untuk kepentingan kerabat, anak yatim, orng miskin, anak terlantar, yang meminta dan memerdekakan hamba sahaya. Infaq harta merupakan dasar kebajikan yang kedua setelah beriman. Jika iman sangat erat kaitannya dengan kesehatan spiritual dan ritual, maka membantu sesama sebagai manifestasi kebaikan yang bersifat sosial. Dalam ayat lain ditandaskan: لَنْ تَنَالُوا الْبِرَّ حَتَّى تُنْفِقُوا مِمَّا تُحِبُّونَ وَمَا تُنْفِقُوا مِنْ شَيْءٍ فَإِنَّ اللَّهَ بِهِ عَلِيمٌ Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sebahagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan, maka sesungguhnya Allah mengetahuinya.Qs.3:92
Berdasar ayat ini, sarat meraih kebajikan yang sempurna adalah menafqahkan harta yang sangat dicintai. Namun bukan berarti infaq dengan harta yang kurang dicintai itu tidak bernilai. Apa pun yang dinafqahkan asalkan dilakukan secara ikhlash akan tetap mendapat pahala dari Allah SWT sebagaimana ditandaskan pada pengunci ayatnya وَمَا تُنْفِقُوا مِنْ شَيْءٍ فَإِنَّ اللَّهَ بِهِ عَلِيمٌ.
Disamping itu, nilai infaq juga dipengaruhi oleh sasarannya kepada siapa dan untuik apa disalurkan. Semakin banyak manfaat yang diinfaqkan akan semakin besar pahalanya. Rasul SAW bersabda: مَنْ أَنْفَقَ نَفَقَةً فَاضِلَةً فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَبِسَبْعِ مِائَةٍ وَمَنْ أَنْفَقَ عَلَى نَفْسِهِ أَوْ عَلَى أَهْلِهِ أَوْ عَادَ مَرِيضًا أَوْ مَازَ أَذًى عَنْ طَرِيقٍ فَهِيَ حَسَنَةٌ بِعَشْرِ أَمْثَالِهَا Barangsiapa yang menginfakan harta di jalan Allah, nilainya tujuh rastus kali lipat. Barang siapa yang mengeluarkan nafaqah untuk dirinya, atau keluarganya, atau menengok orang sakit, atau untuk menyingkirkan kendala dari jalan, maka termasuk kebaikan yang nilainya sepuluh kali lipat. Hr. Ahmad, al-Bayhaqi.[7] Derajat infaq ditinjau dari sasarannya dapat digambarkan berikut:

4. وَأَقَامَ الصَّلَاةَ وَآَتَى الزَّكَاةَ mendirikan shalat, dan menunaikan zakat;
Dasar kebajikan ketiga adalah menegakkan shalat dan menunaikan zakat. Shalat dan zakat tidak terpisahkan. Dalam berbagai ayat bila ada perintah shalat selalu dirangkaikan dengan perintah zakat. Dalam kalimat sebelumnya dikemukakan bahwa dasar kebajikan adalah memberikan sebagian harta untuk kepentingan social seperti anak yatim, kerabat, ibn sabil, memerdekakan hamba dan miskin. Kemudian pada ayat ini ditegaskan kewajiban berzakat. Tegasnya orang yang hanya memenuhi kewajiban berzakat yang difardlukan belum termasuk dermawan bila belum berinfaq melebihi zakat. Seorang mu`min, baru mencapai kebajikan yang sempurna bila telah mengeluarkan zakat yang wajib, disertai infaq tambahan yang bersifat tathawwu’.

5. وَالْمُوفُونَ بِعَهْدِهِمْ إِذَا عَاهَدُوا dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji,
Dasar kebajikan keempat adalah memenuhi janji. Bila pada ayat seblumnya dikemukakan perinsip aqidah yaitu keimanan, kemudian prinsip syari’ah yaitu shalat dan zakat, serta ptinsip mu’amalah yang menjalin hubungan baik sesama manusia, maka ayat ini berkaitan dengan prinsip akhlaq yaitu memenuhi janji. Memenuhi janji juga merupakan prinsip utama yang tidak terpisahkan dengan keimanan. Anas bin Malik menerangkan bahwa dalam salah satu khuthbah Rasul AW bersabda: لَا إِيمَانَ لِمَنْ لَا أَمَانَةَ لَهُ وَلَا دِينَ لِمَنْ لَا عَهْدَ لَهُ tidak ada iman tanpa ada kejujuran, tidak ada islam tanpa menepati janjinya. Hr. Ahmad, al-Baihaqi. Janji merupakan hutang yang mesti dipenuhi, dan akan dimintai pertangungan jawab di akhirat kelak. Allah SWT berfirman: وَأَوْفُوا بِالْعَهْدِ إِنَّ الْعَهْدَ كَانَ مَسْئُولًا  penuhilah jani. Sesungguhnya janji itu akan dimintai tanggung jawabnya di akhirat kelak.
6. وَالصَّابِرِينَ فِي الْبَأْسَاءِ وَالضَّرَّاءِ وَحِينَ الْبَأْسِ dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan.
Dasar kebajikan kelima adalah shabar menghadapi berbagai bencana sepertio pada penderitaan, kesempitan, kesusahan dan peperangan. Jika prinsip kebajikan keempat akhlaq yang hubungannya dengan sesama manusia, maka pada prinsip ini akhlaq yang ada hubungannya dengan diri sendiri yaitu shabar. Shabar pada dasarnya adalah pengendalian diri tatkala menghadapi sesuatu yang kurang menyenangkan.


7. أُولَئِكَ الَّذِينَ صَدَقُوا وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُتَّقُونَ  Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa
Pengunci ayat ini sebagai penegas bahwa orang yang meemunhi dasar kebaikan; baik dalam kaitan keimanan seperti iman kepada yang enam, dalam kaitan dengan social seperti menjalin hubungan baik pada sesama manusia dan membantu yang butuh, berkaitan dengan ibadah seperti shalat dan zakat, kaitan dengan akhlak sesama seperti memenuhi janji, dan akhlaq pada diri sndiri seperti shabar dalam mengatasi berbagai kesusahan, adalah termasuk keriteria mu`min yang benar dan bertaqwa.
G.    KESIMPULAN
Yang dimaksud dengan kebaikan pada surah Al-baqarah Ayat 177 ini adalah beriman kepada Allah, hari akhir, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan senantiasa mewujudkan keimanannya di dalam kehidupan sehari-hari. Para ulama’ mengatakan bahwa ayat ini tergolong ayat yang paling agung dari pokok ajaran-ajaran Islam, karena ayat ini berisi enam belas kaidah mendasar.
Contoh-contoh dari berbuat kebajikan
 tersebut antara lain sebagai berikut:
1.      Mendirikan shalat dan menjalin silaturrahim kepada kerabat dan tidak memutuskannya.
2.      Memberi harta yang dicintainya kepada karib kerabat yang membutuhkannya.
3.      Memberikan bantuan kepada anak yatim.
4.      Memberikan harta kepada musafir yang membutuhkan.
5.      Memberi harta kepada orang-orang yang terpaksa meminta-minta.
6.      Memberikan harta untuk memerdekakan hamba sahaya.
Menepati janji bagi mereka yang mengadakan perjanjian.

DAFTAR PUSTAKA
Ath-Thabari, Jarir, 1995.  Jami'ul bayan fi Ta'wil al-Qur'an. Beirut : Dar al-Fikr.
Ash-shabuni, Ali (penj.K.H.Yasin). 2011. Shafwatut Tafasir, Tafsir-tafsir Pilihan Jilid 1. Jakarta : PUSTAKA AL-KAUTSAR. 

1 komentar:

  1. Tanya:saudaraku ada delapan tapi bapakku menghibahkan ke salah satu anaknya,sekarang bapak sudah meninggal.
    Bolehka anak yang lain menuntut hibah dibatalkan.

    BalasHapus