Kamis, 23 April 2015

HADITS DLAIF

MAKALAH
HADITS DLAIF
Disususn Guna Memenuhi Tugas Mata kuliah : ‘Ulumul Hadits
Dosen Pengampu: Hj. SRI PURWANINGSIH, M.Ag



Disusun oleh;
Vina Qurotul ‘Uyun                               (1404026009)
Lailin Najihah                                        (1404026010)
Nur Masrihatun Annisah                        (1404026020)





FAKULTAS USHULUDDIN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG
2014

BAB I
PENDAHULUAN

A.    LATAR BELAKANG
Seperti yang sudah kita ketahui bersama bahwa dalam ajaran Islam yang menjadi acuan utama dalam menetapkan suatu hokum adalah al-qur’an sebagai sumber utamanya, dan ini merupakan suatu pendapat yang sudah masyhur dikalangan para ulama’ dan mayoritas ulama’ pun menyepakatinya. Disamping itu kita selain mengambil rujukan utama dalam al-qur’an, apabila didalam al-qur’an tidak ditemukan suatu hokum yang kita cari tentang sumber hukumnya, maka merujuk pada yang namanya hadits, dan hadits ini mayoritas ulama’ juga menyepakati tentang keberadaannya sebagai sumber kedua setelah al-qur’an, walaupun disamping itu ada pula yang tidak menggunakan hadits, atau yang lebih familiarnya dikatakan sebagai golongan inkarus sunah. Tapi sebagai seorang umat islam tentunya kita tahu bahwa tidak semua hadits yang selama ini kita gunakan untuk menetapkan suatu hokum adalah shahih, ataupun hasan, disamping itu pula ada yang bersifat dlaif.
Disetiap merujuk suatu hokum dengan berdalil menggunakan hadits tentunya kita harus lebih berhati-hati dalam menggunakannaya, karena selama ini yang kita anggap bahwa semua hadits itu berasal dari Rasulullah ternyata anggapan itu salah, ada sebuah hadits yang hanya sampai kepada sahabat, tabi’in, bahkan ada juga yang hanya sampai kepada tabi’ut tab’in saja. Dan itu lebih sering disebut dengan hadits dlaif. Untuk lebih jelasnya maka dalam makalah ini akan dibahas tentang hadits dlaif, dan diharapkan makalah ini semoga bisa bermanfaat bagi penulis khususnya dan pembaca pada umumnya.

A.    RUMUSAN MASALAH
Adapun rumusan masalah yang akan dibahas adalah sebagai berikut:
1.      Apa pengertian dari hadits dlaif?
2.      Apa sebab-sebab hadits dlaif bisa terangkat?
3.      Apa macam-macam hadits dlaif?
4.      Bagaimana kehujjahan hadits dlaif?


B.     TUJUAN MASALAH
Adapun tujuan dari rumusan masalah diatas adalah sebagai berikut:
1.      Mengetahui pengertian dari hadits dlaif
2.      Mengetahui penyebab terangkatnya hadits dlaif
3.      Mengetahui macam-macam dari hadits dlaif
4.      Mengetahui kehujjahan hadits dlaif

















BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Hadits Dlaif
Secara etimologi dlaif artinya lemah, lawan dari kuat. Istilah hadits dlaif berarti hadits yang lemah atau hadits yang tidak kuat.
Ø  Menurut Jalaluddin As-Syuyuti (wafat tahun 119 H) hadits dlaif adalah:
ماَ لَمْ يَجْمَعُ فِيْهِ صِفَا تٌ الصَّحِيْحِ وَ لاَ صِفَا تُ ا محَسَنِ
“ hadits yang tidak memenuhi kriteria hadits shahih dan hasan”
Ø  Menurut An-Nawawi, hadits dlaif adalah:
مَا لَمْ يُوْ جَدْ فِيْهِ شُرُوْطُ الصِّحَّةِ وَلاَ شُرُوْطُ الحَسَنِ
“hadits yang didalamnya tidak terdapat syarat-syarat hadits shahih dan syarat-syarat hadits hasan”
Ø  Menurut Nur Ad-Din ‘Atr, hadits dhaif adalah:
مَا فَقِدَ شَرْطاً مِنْ شُرُوْطِ الحَدِيْثِ الْمَقْبُوْلِ
“hadits yang hilang salah satu syaratnya dari syarat-syarat hadits maqbul (hadits yang shahih atau hadits yang hasan)”
Ø  Ulama’ lain menyebut bahwa hadits dlaif adalah:
كُلُّ حَدِيْثٍ لَمْ يَجْتَمِعْ فِيْهِ صِفَاتُ الْمَقْبُوْلِ
“hadits yang didalamnya tidak terkumpul sifat-sifat maqbul”

Dengan demikian, hadits dlaif merupakan hadits yang salah satu syarat atau lebih dari persyaratan-persyaratan hadits shahih atau hadits hasan tidak terpenuhi.

Lima persyaratan untuk menentukan kriteria sebuah hadits, yaitu kesinambungan sanad, keadilan rawi, ke dlabitan rawi, tidak terdapat kejanggalan (syaz), dan terhindar dari cacat (‘illat), dapat dijadikan standar untuk menilai apakah termasuk shahih, hasan, atau dlaif.

B.     Hadits Dlaif yang disertai dengan beberapa Jalur Periwayatan
Imam Syuyuti dengan mengutip pendapat Ibn. Hajar al-Asqalani mengatakan bahwa hadits dlaif yang disebabkan karena kedustaan seorang rawi atau karena kefasiqan seorang rawi tidak dapat meningkat kepada derajat yang lebih tinggi meskipun banyak jalur periwayatan yang semisal. Hal ini dikarenakan karena kedlaifan yang sangat. Akan tetapi, ia menambahkan bahwa hadits dlaif dapat naik derajatnya yang lebih tinggi (derajat hadits hasan), jika banyaknya jalur periwayatan itu sampai kepada derajat mastur, derajat buruk hafalan, sekiranya ditemukan melalui jalur yang lain dan dlaifnya mendekati diamalkannya.
Demikian juga, Abi al-Hasan al-Qaan memberikan suatu petunjuk bahwa hadits dlaif dapat dijadikan hujjah secara keseluruhan, akan tetapi dapat diamalkan untuk keutamaan amal, dan mauquf (tidak berlaku), jika diterapkan dalam permasalahan hukumkecuali didukung oleh banyak jalur atau karena adanya persesuian dengan syahid (perawi pendukung yang berasal dari sahabat), hadits-hadits shahih atau sesuai dengan dhahirnya al-qur’an.
Ibn Hajar al-Asqalani menambahkan bahwa hadits dlaif yang terjadi karena rawi tersebut mengalami buruk hafalannya, dapat naik ke derajat yang lebih tinggi, jika didukung oleh beberapa jalur periwayatan.
Imam Nawawi juga menyatakan hal yang sama bahwa hadits dlaif yang didukung dengan beberapa jalur akan meningkat kepada derajat hasan dan menjadi dapat diterima dan diamalkan.

C.     Macam-macam Hadits Dlaif
Para ulama’ berbeda pendapat dalam membagi macam-macam hadits dlaif. Al-hafiz Abdurrahim al-iraqi (wafat tahun 806 H) membagi hadits dlaif ke dalam 42 bagian. Meski demikian, secara garis besar pembagian hadits dlaif dapat dilihat dari dua factor utama. Pertama factor kesinambungan sanad hadits. Kedua, factor-faktor lain diluar kesinambungan sanad.
Dari sisi kesinambungan sanad pada hadits dlaif, terbagi dalam lima macam hadits, yakni:
1.      Hadits Mursal
Hadits mursal adalah hadits yang terputus sanadnya pada tingkatan shahabiy (sahabat), sehingga dari tingkat tabi’in langsung ditarik kepada Nabi Muhammad saw. Tanpa menyebutkan generasi sahabat. Contoh:
عَنْ مَا لِكٍ عَنْ عَبْدِ االَّهِ بْنِ اَبِيْ بَكْرِ بْنِ حَزْمٍ اَنَّ فِى الْكِتَا بِ الَّذيْ كَتَبَهُ رَسُوْلُ الّلَه عَلَيْهِ وَسَلَّم لِعَمْرٍ بْنِ حَزْمٍ اَنْ لاَ يَمَسَّ القُرْآنَ اِلاَّ طاَهِرٌ
“dari malik dari abdillah bin abi bakr bin hazm, bahwa dalam surat yang ditulis Rasulullah saw. Kepada amr bin hazm (tersebut) : “bahwa tidak menyentuh al-qur’an melainkan orang yang suc”
Abdullah bin abi bakar ini seorang tabi’in, sedang seorang tabi’in tidak semasa dan tidak bertemu dengan Rasulullah saw.
Hadits mursal menurut kebanyakan ulama’ merupakan bagian dari hadits dlaif. Imam muslim didalam muqadimah as-shahih (1/30) berkata: “riwayat yang mursal menurut pendapat kami dan pendapat ahli hadits tidak dapat menjadi hujjah”. Hanya saja, kedlaifan hadits mursal adalah ringan. Ia akan hilang apabila diikuti dengan riwayat yang setara ke dlaifannya atau lebih shahih.
2.      Hadits Munqathi’
Hadits munqathi’ adalah hadits yang terputus sanadnya seorang rawi atau beberapa rawi tetapi tidak secara berturut-turut. Contoh:
حَدَّ ثَنَا قُتَيْبَةُ حَدَّ ثَنَا اَبُو عَوَانَةَ عَنْ هِشَامِ بْنِ عُرْوَةَ عَنْ اَبِيهِ عَنْ فَا طِمَةَ بَنْتِ مُنْذِرِ عَنْ اُمِّ سَلاَمَةَ قَا لَتْ قَا لَ رَسُولُ اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّم لاَيُحَرِّمُ مِنَالرِّضَا عَةِ اِلاَّ مَا فَتَقَ الْاَمْعَاءَ فِى الثَّدْيِ وَكَا نَ قَبْلَ الْفِطَامِ       
“telah mengkhabarkan kepada kami qutaibah, telah menceritakan kepada kami abu awanah telah menceritakan kepada kami hisyam bin urwah dari Fatimah binti mundzir, ummil mukminin, ia berkata: telah bersabda Rasulullah saw. “tidak menjadikan haram dari penyusunan, melainkan apa-apa yang sampai dipencernaan sari susu, dan adalah (teranggap hal ini) sebelum (anak) berhenti (dari minum susu)…”(H.R. Tirmidzi:1072)
Fatimah binti mundzir tidak mendengar hadits tersebut dari ummu salamah, waktu ummu salamah meninggal Fatimah masih kecil dan tidak bertemu dengannya. Jadi, terang antara Fatimah dan ummu salamah ada seorang rawi yang digugurkan.
3.      Hadits Mu’dhal
Hadits mu’dhal adalah hadits yang terputus sanadnya dua perawi atau lebih secara berturut-urut. Contoh:
اَخْبَرَنَا سَعِيدُ بْنُ سَالِمْ عَنِ بْنِ جُرَيْجٍ اَنَّ رَسُوْلُ اللَّه صَلَى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمْ كَانَ اِذَا رَاَى البَيْتِ رَفَعَ يَدَيْهِ(الشافعى)
“telah mengkhabarkan kepada kami sa’id bin salim dari abu juraij, bahwa Nabi saw apabila melihat Baitullah beliau mengangkat kedua tangannya”(asy-syafi’i)
Ibnu juraij itu tidak semasa dengan Nabi saw bahkan masa hidupnya dibawah tabi’in. jadi, antara dia dan Rasulullah ada dua orang perantara yaitu tabi’in dan sahabat. Karena kedua orang dari tingakatan itu tidak ada, hadits tersebut dinamakan hadits mu’dhal.
4.      Hadits Mudallas
Hadits mudallas adalah hadits yang isnadnya tersembunyi. Baik itu tersembunyi sanadnya atau guru (syaikh)-nya. Contoh:
رَوِيَالنُّعْمَا نَ بْنُ رَاشَدٍ عَنِالزُّهْرِيِّ عَنْ عَا ئَشَةَ اَنَّ رَسُوْ لُ اللَّه صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمْ لَمْ يَضْرِبِ امْرَاَةً قَطُّ وَلاَ خَادِمًا اِلاَّاَنْ يُّجَاهِدَ فِيْ سَبِيْلِ اللَّه
“diriwayatkan oleh an-nu’man bin rasyid dari zuhri dari urwah dari ‘aisyah bahwa Rasulullah saw tidak pernah berkali-kali memukul perempuan dan tidak juga seorang pelayan melainkan jika ia berjihad dijalan Allah.
Ketika melihat susunan sanad ini, dapat dikatakan bahwa zuhri mendengar riwayat itu dari urwah karena memang dia sering meriwayatkan dari urwah.
Anggapan ini keliru karena imam abu hatim mengatakan, bahwa zuhri tidak pernah mendengar hadits tersebut dari urwah. Ini berarti antara zuhri dan urwah ada seorang rawi yang tidak disebut oleh zuhri.
Karena zuhri tidak mendengar riwayat tersebut dari urwah tetapi mendengar dari rawi lain maka tersamarlah sanadnya. Oleh karenanya hadits tersebut dinamakan mudallas. Perbuatan menyamarkan atau menyembunyikan disebut tadlis, sedangkan orangnya disebut mudallis.     
5.      Hadits Mu’allal
Hadits mu’allal adalah hadits yang memiliki cacat (‘illat) sehingga bias menyingkap atas ketidak shahihannya meski secara lahir tidak tampak memiliki cacat. Contoh:
حَدَّ ثَنَا اِسْحَا قُ بنُ مَنْصُرٍ حَدَّ ثَنَا عَبدُ ا للَّه بنُ نُمَيْرٍ حَدَّ ثَنَا عُبَيْدُاللَّه بنِ عُمَرَ عَنْ نَا فِعٍ عَنْ سِعِيْدِ بنِ اَبِي هِنْدٍ عَنْ اِبِي مُسَى الْاَشْعَارِيِّ اَنَّ رَسُوْلُ اللَّه صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَا لَ حُرِّمَ لِبَاسُ الْحَرِيْرِ وَالذَّ هَبِ عَلَى ذُكُوْرِاُمَّتِى وَاُحِلَّ لِاِنَاثِهِمْ(الترميدي:1642
“telah menceritakan kepada kami ishaq bin Mansur, telah menceritakan kepada kami Abdullah bin numair, telah menceritakan kepada kami ubaidillah bin umar dari nafi’, dari sa’id bin abi hindin, dari abi musa al-asy’ari, bahwa Rasulullah saw bersabda: “telah diharamkan memakai sutera ari emas atas orang laki-laki dari umatku dan dihalalkan bagi perempuan-perempuan mereka. (H.R.Tirmidzi1642)
Secara lahir rawi terpercaya dan sanadnya bersambung terus kepada Nabi, sanad hadits tersebut dikatakan sah. Akan tetapi, sesudah diperiksa oleh ulama’, terdapat fakta bahwa sa’id bin abi hindin tidak pernah mendengar hadits dari abi musa.
Disebabkan sanad tersebut secara lahir sah, tetapi sudah diselidiki terdapat penyakit atau cacatnya, sanad hadits tersebut hadits mu’allal.

Sementara ditinjau dari factor selain kesinambungan sanad, hadits dlaif dibagi dalam bebeapa bagian sebagai berikut:
1.      Hadits Mudha’af
Hadits mudha’af adalah hadits yang belum terkumpul sifat dlaifnya, namun dianggap dlaif oleh ahli hadits yang lain, pada sanad maupun matan hadits, bahkan juga dikuatkan oleh ahli hadits lain. Oleh karena itu, hadits ini memilik derajat tertinggi dibanfingkan hadits dlaif yang lain.


2.      Hadits Mudtarib
Hadits mudtarib adalah hadits yang diriwayatkan oleh seorang rawi atau beberawi rawi yang berbeda-beda, dimana antara yang satu dengan yang lain salig bertentangan tanpa ada kemungkinan membuat tarjih.
3.      Hadits Maqlub
Hadits maqlub adalah hadits yang sebagian para perawinya terbalik dalam penyebutan sebagian matanatau nama orang yang dinisbatkan dalam sanad.
4.      Hadits Syadz
Hadits syadz adalah hadits yang diriwayatkan oleh rawi yang bisa diterima namun memiliki perbedaan dengan rawi lain yang memiliki derajat lebih utama.
5.      Hadits Munkar
Hadits munkar adalah hadits yang diriwayatkan rawi yang dlaif (lemah), riwayatnya bertentangan dengan rawi yang lebih stiqah.
6.      Hadits Matruk
Hadits matruk adalah hadits yang diriwayatkan oleh seorang rawi yang dlaif karena posisi rawinya dituduh berbuat berdusta dalam hadits atau tampak sifat fasiq dalam suatu pekataan atau perbuatan.

D.    Kehujjahan Hadits Dlaif
Ibnu Hajr Al-Asqalani memberikan beberapa kriteria yang berkaitan dengan pengamalan hadits dlaif, antara lain:
·         Hadits dlaif dengan tingkat kedlaifan yang tidak sangat. Syarat ini adalah syarat yang disepakati para ulama’.
·         Hadits dlaif bisa diamalkan apabila berkaitan fada’ilul ‘amal, janji, nasihat, dan ancaman, bukan pada persoalan akidah dan hokum.
·         Hendaknya tidak mempunyai keyakinan untuk menetapkan hadits dlaif berasal dari Nabi, akan tetapi lebih bersikap hati-hati dalam menisbatkan kepada Rasulullah saw.
·         Perbuatan itu masuk kebawah suatu dasar yang umum. Karena itu, tidak masuk dalam kategori bila perbuatan itu tidak mempunyai dasar apapun dari beberapa kaidah dalma Islam.
Kebanyakan ulama’ madzhab dalam menggunakn hadits dlaif mempertimbangkan beberapa kriteria yang ketat, diantaranya adalah:
Madzhab kebanyakan ahli hadits dan khuffad, termasuk didalam imam bukhari dan imam muslim menyatakan bahwa penggunaan terhadap hadits dlaif secara mutlaq tidak diperbolehkan, baik itu dalam persoalan-persoalan hokum, ataupun pada persoalan-persoalan ajaran agama yang bersifat nasihat ataupun keutamaan amal. Seluruh ajaran agama harus bersumber kepada hadits shahih dan menjadikan hadits dlaif sebagai tambahan ajaran agama adalah tindakan yang tidak berdasarkan pada dimensi keilmuan. Pendapat ini juga diikuti oleh Al-Qadhi Abu bakar ibn ‘Arabiy.
Penggunaan hadits dlaif di perbolehkan secara mutlak. Pendapat ini di populerkan oleh Abu Dawud dan Imam Ahmad bin Hambal sebagaimana di kutip oleh Imam Syuyuti. Keduanya beralasan bahwa hadis dlaif lebih kuat bila di bandingkan pendapat para ulama. Artinya, bahwa mazhab yang kedua ini menyatakan bahwa penggunaan hadis dlaif di perbolehkan apabila tidak di temukan hadis sahih, hasan, ataupun fatwa para sahabat Nabi.
Mazhab ahli fiqih menyatakan bahwa penggunaan hadis dlaif hanya berlaku pada persoalan keutamaan-keutamaan amal. Pernyataan ini di perkuat dari riwayat yang berasal dari Abdur Rohman Bin Mahdii, sebagaimana di keluarkan Imam Baihaqi yang menyatakan bahwa Nabi telah bersabda: pada persoalan halal dan haram serta persoalan hokum kami sangat ketat dalam penggunaan sanad, dan pada persoalan selain hal tersebut kami longgar dalam mempergunakan sanad. Pendapat ini juga di ikuti oleh Ibnu Mubarok.






BAB III
PENUTUP

A.    KESIMPULAN
Secara etimologi dlaif artinya lemah, lawan dari kuat. Istilah hadits dlaif berarti hadits yang lemah atau hadits yang tidak kuat.
Lima persyaratan untuk menentukan kriteria sebuah hadits, yaitu kesinambungan sanad, keadilan rawi, ke dlabitan rawi, tidak terdapat kejanggalan (syaz), dan terhindar dari cacat (‘illat), dapat dijadikan standar untuk menilai apakah termasuk shahih, hasan, atau dlaif.
Dengan demikian, hadits dlaif merupakan hadits yang salah satu syarat atau lebih dari persyaratan-persyaratan hadits shahih atau hadits hasan tidak terpenuhi.
Mengutip dari beberapa pendapat para tokoh ulama’ hadits tentang terangkatnya hadits dlaif ini bias saja terjadi dengan catatan kedlaifannya tidak sangat, disamping itu pula ada syahid yang mengkuatkannya.
Para ulama’ berbeda pendapat dalam membagi macam-macam hadits dlaif. Al-hafiz Abdurrahim al-iraqi (wafat tahun 806 H) membagi hadits dlaif ke dalam 42 bagian. Meski demikian, secara garis besar pembagian hadits dlaif dapat dilihat dari dua factor utama. Pertama factor kesinambungan sanad hadits. Kedua, factor-faktor lain diluar kesinambungan sanad.
Kebanyakan ulama’ madzhab dalam menggunakn hadits dlaif mempertimbangkan beberapa kriteria yang ketat.
B.     SARAN DAN KRITIK
Saran dan kritik yang mendukung sangat diperlukan untuk memperbaiki makalah kami, karena kami tahu dalam penyusunan makalah ini sungguh kurang dari kata sempurna dan masih banyak sekali terdapat kesalahan.






DAFTAR PUSTAKA
Muslim, mohammad akib. 2010. Ilmu musthalahul hadits. Kediri, jawa timur. Stain Kediri press.
Hasan, musthafa. 2012. Ilmu hadits. Bandung. Pustaka setia.
Rosidin, mukarrom faisal. 2012. Hadits. T.t. t.p.

    

PEMBAGIAN HUKUM SYAR'I

MAKALAH
PEMBAGIAN HUKUM SYAR’I
Disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah : Ushul Fiqih
Dosen Pengampu  : Muhammad Syaifuddin Zuhriy



Disusun Oleh:
Lailin Najihah                      (1404026010)
Suci Tri Maharani                 (1404026021)
Maulana Hendi Darmawan     (1404026035)

FAKULTAS USHULUDDIN
PRODI TAFSIR HADITS
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG

2015

BAB I
PENDAHULUAN
A.                LATAR BELAKANG
Segala amal perbuatan manusia baik dalam perilaku, tutur kata dan seluruh aspek kehidupan manusia tidak lepas dari ketentuan hukum syari’at. Baik yang tercantum didalam al-qur’an maupun as-sunah, maupun yang tidak tercantum pada keduanya, akan tetapi terdapat pada sumber lain yang diakui oleh syari'at.
Sebagaimana yang di katakan oleh imam Ghazali, bahwa mengetahui hukum syara' merupakan buah (inti) dari ilmu Fiqh dan Ushul fiqh. Sasaran kedua disiplin ilmu ini memang mengetahui hukum syara' yang berhubungan dengan perbuatan orang mukallaf. Meskipun dengan tinjauan yang berbeda. Ushul fiqh meninjau hukum syara' dari segi metodologi dan sumber-sumbernya, sementara ilmu fiqh meninjau dari segi hasil penggalian hukum syara', yakni ketetapan Allah yang berhubungan dengan perbuatan orang-orang mukallaf, baik berupa iqtidha (tuntutan perintah dan larangan), takhyir (pilihan), maupun berupa wadh’i (sebab akibat).
Oleh sebab itu, melalui makalah ini kami akan mencoba membahas tentang hukum syara' yang berhubungan dengan hukum taklifi dan hukum wadhi. Yang mana keduanya merupakan satu sub bab yang tidak bisa dipisahkan satu sama lain.

B.                 RUMUSAN MASALAH
Adapun rumusan masalah yang akan dibahas adalah sebagai berikut :
1.      Apa pengertian hukum syara’?
2.      Apa pengertian hukum taklifi ? Dan jelaskan pembagian hukum taklifi!
3.      Apa pengertian hukum wadh’i? Dan jelaskan pembagian hukum wadh’i!
C.                 TUJUAN MASALAH
Adapun tujuan dari rumusan masalah diatas adalah sebagai berikut :
1.      Untuk mengetahui pengertian hukum syar’i
2.      Untuk mengetahui pengertian hukum taklifi. Dan Untuk mengetahui dan menjelaskan pembagian hukum taklifi
3.      Untuk mengetahui dan menjelaskan pembagian hukum wadh’i. Dan Untuk mengetahui dan menjelaskan pembagian hukum wadh’i
BAB II
PEMBAHASAN
A.                PENGERTIAN HUKUM SYARA’
Hukum syara’ atau hukum syar’i adalah gabungan dari dua kata, yaitu kata “hukum” dan ”syara”.  Kata hukum itu sendiri berasal dari bahasa arab “al-hukmu” yang berarti memutuskan, menetapkan, dan menyelesaikan. Dan kata hukum ini sudah menjadi kata baku dalam bahasa indonesia[1]. Dalam memberikan arti secara definitif terhadap kata hukum, terdapat beberapa perbedaan pendapat diantara para ulama’, yang diantaranya dapat disimpulkan bahwa hukum adalah seperangkat peraturan tentang tingkah laku manusia yang ditetapkan dan diakui oleh suatu negara atau kelompok masyarakat, berlaku dan mengikuti untuk seluruh anggotanya.
Sedangkan kata syara’ secara etimologi adalah jalan, jalan yang biasa dilalui air. Artinya adalah jalan yang biasa dilalui manusia untuk menuju kepada Allah SWT. Dan secara sederhana berarti “ketentuan Allah” dan didalam al-qur’an kata syara’ ini mengalami pengulangan sebanyak lima kali yang berarti ketentuan atau jalan yang harus ditempuh. Bila kata hukum dirangkai dengan kata syara’ yaitu “hukum syara’ “ akan berarti seperangkat peraturan berdasarkan ketentuan Allah tentang tingkah laku manusia yang diakui dan diyakini berlaku serta mengikat untuk semua umat yang beragama islam.[2]
Pengetahuan tentang hukum syara’ merupakan hasil nyata dari pengetahuan tentang fiqih dan ushul fiqih. Produk dari dua ilmu ini adalah pengetahuan tentang hukum syar’i dalam hal menyangkut tingkah laku seorang mukallaf. Hanya saja kedua ilmu ini memandang dari arah yang berbeda. Ilmu ushul fiqih memandang dari segi dan kearah metode pengenalannya dan sumber yang digunakan untuk itu, sedangkan ilmu fiqih memandang dari segi merumuskannya dengan perbuatan dalam lingkup yang digariskan oleh ushul fiqih. Dengan demikian terdapat perbedaan pendapat antara ahli ushul fiqih dengan ahli fiqih alam mendefinisakan hukum syar’i.

Menurut para ahli ushul fiqih, hukum syar’i adalah khitab syar’i[3] yang berhubungan dengan perbuatan orang mukallaf baik bersifat iqtida’ (tuntutan)[4], takhyir (membolehkan)[5], maupun wadh’i (menetapkan)[6].
Sedangkan ahli fiqih memberikan definisi hukum syara’ adalah sifat yang merupakan pengaruh atau akibat yang timbul dari titah Allah terahaap orang mukallaf itu.
Perbedaan peristilah dikalangan dua kelompok ini terlihat pada sisi dan arah pandangan. Ushul fiqih yang fungsinya adalah mengeluarkan hukum dari dalil memandangnya dari segi nash syara’ yang harus dirumuskan menjadi hukum yang rinci. Karenanya ia menganggap hukum itu sebagai tuntutan Allah yang mengandung aturan tingkah laku. Sedangkan fiqih yang fungsinya menjelaskan hukum yang dirumuskan dari dalil memandang dari segi ketentuan syara’ yang sudah terinci. Karenanya ia menganggap hukum itu adalah wajib, sunah dan sebagainya yang melekat pada perbuatan mukallaf yang dikenai hukum itu.

B.     PEMBAGIAN HUKUM SYARA’
Dari pengertian hukum syara’ menurut istilah ahli ushul dapat disimpulkan bahwa hukum itu tidak hanya satu macam. Karena hukum itu adakalanya berhubungan dengan perbuatan mukallaf dalam bentuk tuntutan, pilihan atau berbentuk ketetapan. Para ahli ushul memberi istilah pada hukum yang berhubungan dengan perbuatan mukallaf dalam bentuk tuntutan atau pilihan dengan hukum taklifi, dan hukum yang berhubungan dengan perbuatan mukallaf dalam bentuk ketetapan dengan hukum wadh’i. Dari sini ditetapkan bahwa hukum syara’ itu terbagi dua macam : hukum taklifi dan hukum wadh’i.

C.                 HUKUM TAKLIFI
Hukm taklifi adalah segala sesuatu yang menghendaki tuntutan untuk mengerjakan, meninggalkan, atau pilihan antara keduanya. Disebut hukum taklifi karena pengenaan beban pada orang mukallaf, baik itu melakukan atau mencegah perbuatan maupun kebolehan antara melakukan atau mencegah perbuatan itu.
·         Contoh hukum yang menuntut kepada mukallaf untuk berbuat :
خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِم بِهَا وَصَلِّ عَلَيْهِمْ إِنَّ صَلاَتَكَ سَكَنٌ لَّهُمْ وَاللّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ
Artinya : Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan mendo'alah untuk mereka. Sesungguhnya do'a kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (Q.S. At-Taubah :3)
وَلِلّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ
Artinya : Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah (Q.S. Ali Imron :97)
·         Contoh hukum yang menuntut kepada mukallaf untuk tidak berbuat :
لَا يَسْخَرْ قَومٌ مِّن قَوْمٍ  
Artinya : Janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan kumpulan yang lain, boleh jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka (Q.S. Al-Hujurat :11)
وَلاَ تَقْرَبُواْ الزِّنَى
Artinya : Dan janganlah kamu mendekati zina (Q.S. Al-Isra’ :32)
·         Contoh hukum yang menghendaki agar mukallaf memilih antara berbuat dan meninggalkan :
وَإِذَا حَلَلْتُمْ فَاصْطَادُواْ
Artinya : Dan apabila kamu telah menyelesaikan ibadah haji, maka bolehlah (Q.S. Al-Maidah :2)
فَإِذَا قُضِيَتِ الصَّلَاةُ فَانتَشِرُوا فِي الْأَرْضِ
Artinya : Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi (Q.S. Al-Jumu’ah :10).

D.                PEMBAGIAN HUKUM TAKLIFI
Hukum taklifi terbagi menjadi lima macam :
1.      Wajib
Wajib[7] adalah اَلْوَاجِبٌ شَرْعًا هُوَمَا يُثَا بُ عَلَى فِعْلِهِ وِ يُعَا قَبُ عَلًى تَرْكِهِ
Suatu perbuatan jika dikerjakan mendapatkan pahala jika tinggalkan mendapat siksa.
Definisi wajib menurut syara’ adalah sesuatu yang dituntut oleh syar’i untuk dikerjakan oleh mukallaf secara pasti, yakni tuntutan itu bersamaan dengan sesuatu yang menunjukkan kepastian untuk berbuat.
Secara sederhana wajib didefinisikan oleh ahli ushul fiqih :
الْوَا جِبُ هُوَ الْفِعْلُ اْلمَطْلُوبِ عَلَى وَجْهِ الُّلزُوْمِ بِحَيْثِ يُثَابْ فَاعِلُهُ وَيُعَاقَبُ تَارِ كُهُ
Adalah suatu perbuatan yang dituntut Allah untuk dilakukan secara tuntutan pasti, yang diberi ganjaran dengan pahala orang yang melakukannya karena perbuatannya itu telah sesuai dengan kehendak yang menuntut dan diancam dosa orang yang meninggalkannya karena bertentangan dengan kehendak yang menuntut.
Kata luzum (اللزوم) dalam definisi tersebut berarti bahwa tuntutan untuk berbuat itu adalah secara pasti. Lazim inilah yang membedakan antara wajib dan mandub meskipun keduanya sama-sama dituntut untuk dilakukan. Perintah yang berati nadb adalah perintah yang tidak pasti sehingga memungkinkan untuk tidak dikerjakan.
Dalam masalah wajib, para ushul fiqih juga bersepakat untuk mengatakan bahwa wajib itu dapat diketahui melalui beberapa petunjuk, diantaranya :
§  Bentuk kata amar (kata perintah).
§  Bentuk kata-kata yang tercantum didalam kalimat itu sendiri yang menunjukkan wajib.
§  Bentuk kata-kata yang menunjukkan hukuman keras terhadap suatu perbuatan jika ditinggalkan.

Macam-macam wajib :
Wajib ditinjau dari berbagai aspek terbagi menjadi empat, yaitu :
Ø  Wajib ditinjau dari waktu pelaksanaannya
Wajib mutlaq adalah suatu pekerjaan yang wajib kita kerjakan tetapi tidak ditentukan waktunya, seperti membayar kafarat.
Wajib muwaqqat aalah suatu pekerjaaan yang wajib kita kerjakan serta ditentukan waktunya, seperti shalat wajib dan puasa ramadhan. Wajib muaqqat ini dari segi rentang waktu yang disediakan terbagi tiga, yaitu :
*      Wajib muwassa’ ialah suatu pekerjaan wajib yang diluaskan waktunya, yaitu waktunya lebih luas dari waktu mengerjakannya. Contohnya waktu shalat fardu.
*      Wajib mudhayyaq ialah pekerjaan yang disempitkan waktunya tidak melebihi kadar pekerjaan, misalnya puasa ramadhan.
*      Wajib dzu syahabain yaitu pekerjaan yang menyerepuai wajib muwassa’ dan wajib mudhayyaq, misalnya haji.

Ø  Wajib ditinjau dari tuntutan menunaikan atau pelaksana
Wajib ‘ainiy adalah suatu pekerjaan yang dituntut kepada setiap individu atau perorangan, misalnya shalat lima waktu.
Wajib kifa’i atau kifaiyah adalah suatu pekerjaan yang dituntut kepada umat secara keseluruhan, apabila seseorang diantara umat ada melaksanakan kewajiban tersebut, maka dapat menggugurkan kewajiban pada semua orang yang dikenai hukum wajib kifa’i, misalnya merawat jenazah, mengubur jenazah.
Ø  Wajib ditinjau dari kadar yang dituntut atau ukurannya
Wajib muhaddad adalah kewajiban yang ditentukan syara’ kadar ukurannya, contohnya zakat.
Wajib ghairu muhaddad adalah kewajiban yang tidak ditentukan syara’ kadar ukurannya, seperti kewajiban membelanjakan harta dijalan Allah.
Ø  Wajib ditinjau dari bentuk perbuatan yang dituntut atau sifat
Wajib mu’ayyan ialah kewajiban yang dituntut syara’ dengan secara khusus, seperti membaca surat al-fatihah dalam shalat.
Wajib mukhayyar ialah suatu kewajiban yang dibolehkan memilih dari beberapa alternatif hukum yang telah ditentukan, misalnya kafarat sumpah.

2.      Mandub (sunnah)
Mandub adalah sesuatu yang dituntut oleh syar’i untuk dilaksanakan oleh mukallaf secara tidak pasti. Artinya pekerjaan itu disuruh kita melaksanakannya dan diberi pahala, hanya tidak dihukum berdosa bagi yang meninggalkannya. Kata asy-syaukani “mandub itu suatu perintah yang dipuji bagi orang yang mengerjakannya dan tidak dicela bagi orang yang meninggalkannya”.

Macam-macam sunnah :
Ø  Dari segi selalu dan tidak selalunya nabi melakukan perbuatan sunnah
Sunnah muakkadah yaitu perbuatan yang selalu dilakukan oleh nabi disamping ada keterangan yang menunjukkan bahwa perbuatan itu bukanlah sesuatu yang fardu. Contohnya shalat witir dua rakaat fajar sebelum fajar shalat subuh.
Sunnah ghairu muakkad yaitu perbuatan yang pernah dilakukan oleh oleh nabi, tetapi nabi tidak melazimkan dirinya untuk berbuat demikian. Contohnya shalat sunnah empat rakaaat sebelum dhuhur.
Ø  Dari segi kemungkinan meninggalkan perbuatan
Sunnah hadyu yaitu perbuatan yang dituntut untuk melakukannya karena begitu besar faedah yang didapat darinya dan orang yang meninggalkannya dinyatakan sesat dan tercela. Contoh shalat berjama’ah.
Sunnah zaidah yaitu sunnah yang bila dilakukan oleh mukallaf dinyatakanbaik tetapi bila ditinggalkan, yang meninggalkannya tidak diberi sanki apa-apa.
Sunnah nafal yaitu perbuatan yang dituntut sebagai tambahan bagi perbuatan wajib, contohnya shalat tahajud, shalat sunnah yang mengiringi shaalt wajib.

3.      Tahrim (Haram)
Tahrim adalah sesuatu yang dituntut syar’i untuk tidak dikerjakan dengan tuntutan yang pasti. Artinya, bentuk tuntutan larangan itu sendiri menunjukkan kepastian. Dalam istilah hukum, haram ialah : مَا طَلَبَ الشَّا رِعُ اْلكَفَّ عَنْ فِعْلِهِ عَلىَ وَ جْهِ اللُّزُوْمِ  
Sesuatu yang dituntut syar’i (pembuat hukum) untuk tidak memperbuatnya secara tuntutan yang pasti. Contoh perbuatan haram adalah membunuh, berzina memakan bangkai dan lain-lain.

Macam-macam haram :
Haram yang menurut asalnya sendiri adalah haram (haram dzati). Artinya bahwa hukum syara’ telah mengharamkan keharaman itu sejak dari permulaan, seperti zina.
Haram karena sesuatu yang baru (haram ghairi dzati atau ‘ardhi). Artinya suatu perbuatan itu pada mulannya ditetapkan oleh hukum syara’ sebagai suatu kewajiban, kesunahan atau kebolehan, tetapi bersamaan dengan sesuatu yang baru yang menjadikannya haram. Seperti shalat dengan menggunakan baju ghasab.

4.      Karahah (Makruh)
Makruh berati yang tidak disukai. Secara istilah sesuatu yang dituntut oleh pembuat hukum untuk ditinggalkan dalam bentuk tuntutan yang tidak pasti.

Macam-macam makruh :
Menurut ulama’ Hanafiyah makruh dibagi menjadi dua
Ø  Makruh tahrim adalah tuntutan meninggalkan sesuatu perbuatan secara pasti tetapi dalil yang menunjukkannya bersifat dhanni.
Ø  Makruh tanzih yaitu kebalikan dari mandub.

5.      Ibahah (Mubah)
Ibahah adalah aktifitas yang diperbolehkan untuk dikerjakan atau diperbolehkan untuk tidak dikerjakan. Contohnya makan, minum dan lain-lain.
Asy-syatibi membagi mubah menjadi empat macam, yaitu :
Ø  Mubah yang mengikuti suruhan untuk berbuat, contoh makan dan nikah.
Ø  Mubah yang mengikuti suruhan untuk meninggalkan, bermain.
Ø  Mubah yang tidak mengikuti sesuatu.
Ø  Mubah yang tunduk kepada mubah itu sendiri.

6.      Rukhsah dan ‘Azimah
Rukhsah adalah sesuatu hukum yang diatur oleh syara’ karena adanya udzur (halangan) yang menyukarkan. Contoh hukum makan bangkai diwaktu tidak ada makanan sama sekali dan dikhawatirkan jika tidak makan bangkai maka akan mati.
‘Azimah adalah hukum yang dituntut syara’ dan bersifat umum, tidak ditentukan berlakunya atas suatu golongan dan atau keadaan tertentu. Contoh kewajiban menjalankan shalat lima waktu.

E.                 HUKUM WADH’I
Hukum wadh’i adalah suatu ketetapan yang menghendaki sesuatu menjadi sebab yang lain atau menjadi syarat atau penghalang bagi sesuatu yang lain[8].
·         Contoh sesuatu yamg menjadi sebab yang lain وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُواْ أَيْدِيَهُمَا
Artinya : Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (Q.S. Al-Maidah 38).
Ayat ini menetapkan bahwa pencuri  menjadi sebab diwajibkannya memotong tangan.
·         Contoh sesuatu yang menetapkan sesuatu menjadi syarat bagi yang lain
Hadits nabi : Tidak sah nikah kecuali dengan kehadiran wali dan dua orang saksi. Hadits ini menetapkan hadirnya seorang wali dan dua orang saksi menjadi syarat sahnya nikah.
·         Contoh  sesuatu yang menetapkan sesuatu menjadi penghalang bagi sesuatu yang lain
Hadits nabi : Tidak sah shalatnya orang yang tidak membaca surah al-fatihah.
Hadits ini menetapkan bahwa tidak membaca surah al-fatihah menjadi penghalang sahnya shalat.
F.                  PEMBAGIAN HUKUM WADH’I
Hukum wadh’i terbagi menjadi lima:
1.      Sebab
Dalam artian lughawi sebab berarti sesuatu yang dapat menyampaikan kepada apa yang dimaksud. Sepotong tali atau suatu jalan dapat dinamakan “sabab” karena keduanya itu dapat membawa kepada apa yang dituju.
Asy-syuyuti mengatakan sebab ialah sesuatu hal yang diletakkan syara’ untuk sesuatu hokum karena adanya suatu hikmah yang ditimbulkan oleh hukum itu.
Dalam arti istilah dikemukakan oleh para ahli sebagai berikut :
Sesuatu yang jelas dapat diukur yang dijadikan pembuat hukum sebagai tanda adanya hukum, lazim dengan adanya tanda itu ada hukum dan dengan tidak adanya, tidak ada hukum.
Contohnya :
Masuknya bulan ramadhan menjadi pertanda datngnya kewajiban puasa ramadhan. Masuknya bulan ramadhan adalah sesautu yang jelas dan dapat diukur apakah betul bulan ramadhan itu sudah datang atau belum. Masuknya bulan ramadhan disebut sebab, sedangkan datangnya bulan ramadhan disebut musabba atau hukum.

Macam-macam sebab :
Sebab yang berada diluar batas kemampuan mukallaf ialah sebab yang dijadikan Allah SWT sebagai pertanda atas adanya hukum. Contohnya :
اَقِمِ الصَّلاَةَ لِدُلُوكِ الشَّمْسِ إِلَى غَسَقِ اللَّيْلِ
Artinya : Dirikanlah shalat karena tergelincirnya matahari sampai gelap malam. (Q.S. Al-isra’ : 78)
Sebab yang berada dalam batas kemampuan mukallaf ialah sebab dalam bentuk perbuatan mukallaf yang ditetapkan oleh pembuat hukum akibat hukumnya. Contohnya :
Mengqasar shalat, perjalanan itu disebut sebab. Ia adalah perbuatan mukallaf yang dilakukannya dengan sadar dan dalam kemampuannya. Sebab dalam bentuk perbuatan mukallaf ini terbagi menjadi tiga macam :
Sebab dituntut oleh pembuat untuk diadakan, artinya dituntut untuk memperbuatnya. Dituntut dalam bentuk tuntutan meninggalkannya. Diberi izin untuk melakukannya selama berada dalam batas kemampuan mukallaf.
2.      Syarat
Syarat menurut bahasa berati melazimkan sesautu. Syarat adalah sesuatu yang adanya hukum itu tergantung pada adanya sesautu itu, dan tidak adanya menjadikan tidak adanya hukum. Yang dimaksud adalah keberadaannya menurut syara’ yang dapata menimbulkan suatu pengaruh.
Contoh syarat : wali dalam perkawinan yang menurut jumhur ulama’ merupakan syarat. Dengan tidak adanya wali pasti nikah tidak akan sah, tetapi dengan adanya wali belum tentu nikah itu sah karena masih adnya syari’at lain seperti saksi, akad, dan lainnya.

Macam-macam syarat :
Syarat ‘aqli seperti kehidupan menjadi syarat untuk dapat mengetahui. Adanya paham menjadi syarat untuk adanya taklif atau beban hukum.
Syarat ‘adi artinya berdasarkan atas kebiasaan yang berlaku. Contohnya bersatunya api dengan bara yang dapat terbakar menjadi syarat berlangsungnya kebakaran.
Syarat syar’i adalah syarat berdasarkan atas penetapan syara’ yang berlaku. Contohnya sucinya badan menjadi syarat untuk shalat. Nisab menjadi syarat wajibnya zakat.
3.      Mani’(Penghalang)
Mani’ adalah sesautu yang adanya meniadakan hokum atau membatalkan sebab. Dalam suatu masalah, kadang sebab syarat sudah jelas dan telah memenuhi syarat-syaratnya, tetapi ditemukan adanya mani’ (penghalang) yang menghalangi konsekuensi hokum atas amalan tersebut. Seperti adanya perakawinan yang sah atau adanya hokum kekerabatan, tetapi salah satunya terhalang mendapat hak waris, misalnya perbedaan agama antar pewaris dan ahli waris, atau ahli waris membunuh pewaris. Juga seperti adanya pembunuhan yang disengaja dan aniaya, tetapi terhalang untuk dilakukan qishas, karena sipembunuh adalah ayah korban itu sendiri.
Mani’ menurut istilah ulama’ ushul fiqih adalah sesuatu yang ditemukan setelah terbukti sebabnya dan memenuhi syaratnya, tetapi dapat menghalangi sebab dan akibat. Tidak adnya suatu syarat, menurut istilah mereka tidak disebut mani’, meskipun dapat mengahlangi hubungan sebab akibat.
Dalam kaitannya dengan mani’ ini, seorang tidak diperbolehkan secara sengaja menciptakan mani’ supaya terhindar dari tuntutan hokum syara’. Misalnya supaya terhindar dari kewajiban zakat, seorang peternak kambing menjual satu ekor kambingnya supaya tidak mencapai satu nisab. Perbuatan seperti ini dilarang dan pelakunya berdosa. Tindakan seperti ini disebut dengan khiyal atau helat hokum, yaitu mencari-cari cara agar terhindar dari tuntutan hukum syara’.
4.      Sah dan batal
Sah adalah terpenuhinya semua syarat dan rukun paa perbuatan orang mukallaf. Sah disini membawa akibat timbulnya pengeruh dari perbuatan tersebut secara syar’i. Jika perbuatan tersebut menyangkut ibadah, maka ia terbebas dari tanggungannya, seperti ia dikatakan sah, dan karenanya, ia bebas dari tuntutan melaksanakan shalat tersebut. Jika perbuatan tersebut merupakan muamalah, seperti jual beli dan sewa menyewa, maka akibat hukum dari tingkatan tersebut berlaku pada pihak-pihak yang mengadakan transaksi.
Batal ialah tidak terpenuhinya syarat dan rukun pada perbuatan orang yang mukallaf. Jika satu perbuatan tidak memenuhi syarat dan rukunya, maka ia dinamakan batal. Artinya, ia tidak menimbulkan akibat hukum. Misalnya, shalat yang tidak sah tidak membebaskan seseorang dari tanggung jawabnya untuk melakukan shalat, jual beli yang tidak sah tidak mengakibatkan berpindahnya kepemilikan barang pada pembeli dan kepemilikan harga pada penjual.














BAB III

PENUTUP

A.    KESIMPULAN
Kata syara’ secara etimologi adalah jalan, jalan yang biasa dilalui air. Artinya adalah jalan yang biasa dilalui manusia untuk menuju kepada Allah SWT. Dan secara sederhana berarti “ketentuan Allah” dan didalam al-qur’an kata syara’ ini mengalami pengulangan sebanyak lima kali yang berarti ketentuan atau jalan yang harus ditempuh. Bila kata hukum dirangkai dengan kata syara’ yaitu “hukum syara’ “ akan berarti seperangkat peraturan berdasarkan ketentuan Allah tentang tingkah laku manusia yang diakui dan diyakini berlaku serta mengikat untuk semua umat yang beragama islam. Hukum syara’ itu terbagi dua macam : hukum taklifi dan hukum wadh’i.
Hukm taklifi adalah segala sesuatu yang menghendaki tuntutan untuk mengerjakan, meninggalkan, atau pilihan antara keduanya. Disebut hukum taklifi karena pengenaan beban pada orang mukallaf, baik itu melakukan atau mencegah perbuatan maupun kebolehan antara melakukan atau mencegah perbuatan itu. Hukum taklifi dibagi menjadi 6, yaitu : Wajib, Mandub, Haram, Karahah, Mubah, Rukhsah dan Azimah.
 Hukum wadh’i adalah suatu ketetapan yang menghendaki sesuatu menjadi sebab yang lain atau menjadi syarat atau penghalang bagi sesuatu yang lain. Hukum wadh’i dibagi menjadi 5, yaitu : Sabab, Syarat, Mani’, Shah, Batal.

B.     SARAN DAN KRITIK
Saran dan kritik yang membangun sangat dibutuhkan oleh penulis dalam memperbaiki makalah ini, karena penulis tahu bahwa dalam penulisan makalah ini banyak sekali terdapat kesalahan dan jauh dari kata sempurna. Wallahu ‘alam bissawab.









DAFTAR PUSTAKA
Syarifuddin Amir. 2009. Ushul Fiqih jilid 1. Jakarta : Kencana 2009.
Umar Muin, Tolehah Mansoer, Zahri Ahmad. 1986. Ushul Fiqih 1. Jakarta : Departemen Agama.
Wawan Djunaeni. 2008. Fikih. Jakarta : PT. Listakariska putra.
Ma’shum Zein. 2008. Zubdah ushul al-fiqh. Jombang-jatim : Darul hikmah.
Suratno, Anang Zamroni. 2012. Fikih. Jakarta : Kementrian Agama.
Abdul Wahab Khallaf. 2002. Ilmu Ushul Fiqih. Mojokerto : Pustaka Amani-jakarta.
Suwarjin. 2012. Ushul Fiqih. Yogjakarta : Teras.
www.google.com. Jum’at, 13 maret 2015. 08 : 45.
 
   






 


     

  


 





[1]Amir syarifuddin. 2009. Ushul Fiqih. Jakarta: kencana. Hal 333.
[2] Amir syarifuddin. 2009. Ushul Fiqih. Jakarta: kencana. Hal 334.
[3] Khitab Allah adalah firman Allah secara langsung (al-qur’an) atau dengan perantara, yaitu segala hal yang kembali pada kalam-Nya, baik berupa sunnah, ijma’, maupun semua dalil syar’iyyah yang digariskan oleh syar’i untuk diketahui hukumnya.
[4] Iqtida’ adalah tuntutan, baik menuntut untuk melakukan maupun meninggalkan, baik melaui jalan ilzam maupun tarjih.
[5] Takhyir adalah menyamakan antara melakukan sesuatu atau meninggalkan sesuatu tanpa mentarjih salah satunya atau membolehkan kedua hal tesebut dari orang mukallaf.
[6] Wadh’i adalah menetapkan sesuatu sebagai sebab yang lain atau syarat yang alain atau mani’ yang lain.
[7] Wajib atau wujub dalam bahasa sinonim dengan kata al-Tsubut atau al-Luzuni (artinya tetap atau positif) al-Suquth (artinya gugur) seperti firman Allah فا ا ذا و جبت جنو بها ا ى سقطت  ibnu mandzur, lisan al-‘arab , juz 1, hal 793, atau ibnu farkah, syarakh.
[8] Suratno, anang zamroni. 2012. Fikih. Jakarta : kementrian agama. Hal 109.