Kamis, 23 April 2015

PEMBAGIAN HUKUM SYAR'I

MAKALAH
PEMBAGIAN HUKUM SYAR’I
Disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah : Ushul Fiqih
Dosen Pengampu  : Muhammad Syaifuddin Zuhriy



Disusun Oleh:
Lailin Najihah                      (1404026010)
Suci Tri Maharani                 (1404026021)
Maulana Hendi Darmawan     (1404026035)

FAKULTAS USHULUDDIN
PRODI TAFSIR HADITS
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG

2015

BAB I
PENDAHULUAN
A.                LATAR BELAKANG
Segala amal perbuatan manusia baik dalam perilaku, tutur kata dan seluruh aspek kehidupan manusia tidak lepas dari ketentuan hukum syari’at. Baik yang tercantum didalam al-qur’an maupun as-sunah, maupun yang tidak tercantum pada keduanya, akan tetapi terdapat pada sumber lain yang diakui oleh syari'at.
Sebagaimana yang di katakan oleh imam Ghazali, bahwa mengetahui hukum syara' merupakan buah (inti) dari ilmu Fiqh dan Ushul fiqh. Sasaran kedua disiplin ilmu ini memang mengetahui hukum syara' yang berhubungan dengan perbuatan orang mukallaf. Meskipun dengan tinjauan yang berbeda. Ushul fiqh meninjau hukum syara' dari segi metodologi dan sumber-sumbernya, sementara ilmu fiqh meninjau dari segi hasil penggalian hukum syara', yakni ketetapan Allah yang berhubungan dengan perbuatan orang-orang mukallaf, baik berupa iqtidha (tuntutan perintah dan larangan), takhyir (pilihan), maupun berupa wadh’i (sebab akibat).
Oleh sebab itu, melalui makalah ini kami akan mencoba membahas tentang hukum syara' yang berhubungan dengan hukum taklifi dan hukum wadhi. Yang mana keduanya merupakan satu sub bab yang tidak bisa dipisahkan satu sama lain.

B.                 RUMUSAN MASALAH
Adapun rumusan masalah yang akan dibahas adalah sebagai berikut :
1.      Apa pengertian hukum syara’?
2.      Apa pengertian hukum taklifi ? Dan jelaskan pembagian hukum taklifi!
3.      Apa pengertian hukum wadh’i? Dan jelaskan pembagian hukum wadh’i!
C.                 TUJUAN MASALAH
Adapun tujuan dari rumusan masalah diatas adalah sebagai berikut :
1.      Untuk mengetahui pengertian hukum syar’i
2.      Untuk mengetahui pengertian hukum taklifi. Dan Untuk mengetahui dan menjelaskan pembagian hukum taklifi
3.      Untuk mengetahui dan menjelaskan pembagian hukum wadh’i. Dan Untuk mengetahui dan menjelaskan pembagian hukum wadh’i
BAB II
PEMBAHASAN
A.                PENGERTIAN HUKUM SYARA’
Hukum syara’ atau hukum syar’i adalah gabungan dari dua kata, yaitu kata “hukum” dan ”syara”.  Kata hukum itu sendiri berasal dari bahasa arab “al-hukmu” yang berarti memutuskan, menetapkan, dan menyelesaikan. Dan kata hukum ini sudah menjadi kata baku dalam bahasa indonesia[1]. Dalam memberikan arti secara definitif terhadap kata hukum, terdapat beberapa perbedaan pendapat diantara para ulama’, yang diantaranya dapat disimpulkan bahwa hukum adalah seperangkat peraturan tentang tingkah laku manusia yang ditetapkan dan diakui oleh suatu negara atau kelompok masyarakat, berlaku dan mengikuti untuk seluruh anggotanya.
Sedangkan kata syara’ secara etimologi adalah jalan, jalan yang biasa dilalui air. Artinya adalah jalan yang biasa dilalui manusia untuk menuju kepada Allah SWT. Dan secara sederhana berarti “ketentuan Allah” dan didalam al-qur’an kata syara’ ini mengalami pengulangan sebanyak lima kali yang berarti ketentuan atau jalan yang harus ditempuh. Bila kata hukum dirangkai dengan kata syara’ yaitu “hukum syara’ “ akan berarti seperangkat peraturan berdasarkan ketentuan Allah tentang tingkah laku manusia yang diakui dan diyakini berlaku serta mengikat untuk semua umat yang beragama islam.[2]
Pengetahuan tentang hukum syara’ merupakan hasil nyata dari pengetahuan tentang fiqih dan ushul fiqih. Produk dari dua ilmu ini adalah pengetahuan tentang hukum syar’i dalam hal menyangkut tingkah laku seorang mukallaf. Hanya saja kedua ilmu ini memandang dari arah yang berbeda. Ilmu ushul fiqih memandang dari segi dan kearah metode pengenalannya dan sumber yang digunakan untuk itu, sedangkan ilmu fiqih memandang dari segi merumuskannya dengan perbuatan dalam lingkup yang digariskan oleh ushul fiqih. Dengan demikian terdapat perbedaan pendapat antara ahli ushul fiqih dengan ahli fiqih alam mendefinisakan hukum syar’i.

Menurut para ahli ushul fiqih, hukum syar’i adalah khitab syar’i[3] yang berhubungan dengan perbuatan orang mukallaf baik bersifat iqtida’ (tuntutan)[4], takhyir (membolehkan)[5], maupun wadh’i (menetapkan)[6].
Sedangkan ahli fiqih memberikan definisi hukum syara’ adalah sifat yang merupakan pengaruh atau akibat yang timbul dari titah Allah terahaap orang mukallaf itu.
Perbedaan peristilah dikalangan dua kelompok ini terlihat pada sisi dan arah pandangan. Ushul fiqih yang fungsinya adalah mengeluarkan hukum dari dalil memandangnya dari segi nash syara’ yang harus dirumuskan menjadi hukum yang rinci. Karenanya ia menganggap hukum itu sebagai tuntutan Allah yang mengandung aturan tingkah laku. Sedangkan fiqih yang fungsinya menjelaskan hukum yang dirumuskan dari dalil memandang dari segi ketentuan syara’ yang sudah terinci. Karenanya ia menganggap hukum itu adalah wajib, sunah dan sebagainya yang melekat pada perbuatan mukallaf yang dikenai hukum itu.

B.     PEMBAGIAN HUKUM SYARA’
Dari pengertian hukum syara’ menurut istilah ahli ushul dapat disimpulkan bahwa hukum itu tidak hanya satu macam. Karena hukum itu adakalanya berhubungan dengan perbuatan mukallaf dalam bentuk tuntutan, pilihan atau berbentuk ketetapan. Para ahli ushul memberi istilah pada hukum yang berhubungan dengan perbuatan mukallaf dalam bentuk tuntutan atau pilihan dengan hukum taklifi, dan hukum yang berhubungan dengan perbuatan mukallaf dalam bentuk ketetapan dengan hukum wadh’i. Dari sini ditetapkan bahwa hukum syara’ itu terbagi dua macam : hukum taklifi dan hukum wadh’i.

C.                 HUKUM TAKLIFI
Hukm taklifi adalah segala sesuatu yang menghendaki tuntutan untuk mengerjakan, meninggalkan, atau pilihan antara keduanya. Disebut hukum taklifi karena pengenaan beban pada orang mukallaf, baik itu melakukan atau mencegah perbuatan maupun kebolehan antara melakukan atau mencegah perbuatan itu.
·         Contoh hukum yang menuntut kepada mukallaf untuk berbuat :
خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِم بِهَا وَصَلِّ عَلَيْهِمْ إِنَّ صَلاَتَكَ سَكَنٌ لَّهُمْ وَاللّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ
Artinya : Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan mendo'alah untuk mereka. Sesungguhnya do'a kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (Q.S. At-Taubah :3)
وَلِلّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ
Artinya : Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah (Q.S. Ali Imron :97)
·         Contoh hukum yang menuntut kepada mukallaf untuk tidak berbuat :
لَا يَسْخَرْ قَومٌ مِّن قَوْمٍ  
Artinya : Janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan kumpulan yang lain, boleh jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka (Q.S. Al-Hujurat :11)
وَلاَ تَقْرَبُواْ الزِّنَى
Artinya : Dan janganlah kamu mendekati zina (Q.S. Al-Isra’ :32)
·         Contoh hukum yang menghendaki agar mukallaf memilih antara berbuat dan meninggalkan :
وَإِذَا حَلَلْتُمْ فَاصْطَادُواْ
Artinya : Dan apabila kamu telah menyelesaikan ibadah haji, maka bolehlah (Q.S. Al-Maidah :2)
فَإِذَا قُضِيَتِ الصَّلَاةُ فَانتَشِرُوا فِي الْأَرْضِ
Artinya : Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi (Q.S. Al-Jumu’ah :10).

D.                PEMBAGIAN HUKUM TAKLIFI
Hukum taklifi terbagi menjadi lima macam :
1.      Wajib
Wajib[7] adalah اَلْوَاجِبٌ شَرْعًا هُوَمَا يُثَا بُ عَلَى فِعْلِهِ وِ يُعَا قَبُ عَلًى تَرْكِهِ
Suatu perbuatan jika dikerjakan mendapatkan pahala jika tinggalkan mendapat siksa.
Definisi wajib menurut syara’ adalah sesuatu yang dituntut oleh syar’i untuk dikerjakan oleh mukallaf secara pasti, yakni tuntutan itu bersamaan dengan sesuatu yang menunjukkan kepastian untuk berbuat.
Secara sederhana wajib didefinisikan oleh ahli ushul fiqih :
الْوَا جِبُ هُوَ الْفِعْلُ اْلمَطْلُوبِ عَلَى وَجْهِ الُّلزُوْمِ بِحَيْثِ يُثَابْ فَاعِلُهُ وَيُعَاقَبُ تَارِ كُهُ
Adalah suatu perbuatan yang dituntut Allah untuk dilakukan secara tuntutan pasti, yang diberi ganjaran dengan pahala orang yang melakukannya karena perbuatannya itu telah sesuai dengan kehendak yang menuntut dan diancam dosa orang yang meninggalkannya karena bertentangan dengan kehendak yang menuntut.
Kata luzum (اللزوم) dalam definisi tersebut berarti bahwa tuntutan untuk berbuat itu adalah secara pasti. Lazim inilah yang membedakan antara wajib dan mandub meskipun keduanya sama-sama dituntut untuk dilakukan. Perintah yang berati nadb adalah perintah yang tidak pasti sehingga memungkinkan untuk tidak dikerjakan.
Dalam masalah wajib, para ushul fiqih juga bersepakat untuk mengatakan bahwa wajib itu dapat diketahui melalui beberapa petunjuk, diantaranya :
§  Bentuk kata amar (kata perintah).
§  Bentuk kata-kata yang tercantum didalam kalimat itu sendiri yang menunjukkan wajib.
§  Bentuk kata-kata yang menunjukkan hukuman keras terhadap suatu perbuatan jika ditinggalkan.

Macam-macam wajib :
Wajib ditinjau dari berbagai aspek terbagi menjadi empat, yaitu :
Ø  Wajib ditinjau dari waktu pelaksanaannya
Wajib mutlaq adalah suatu pekerjaan yang wajib kita kerjakan tetapi tidak ditentukan waktunya, seperti membayar kafarat.
Wajib muwaqqat aalah suatu pekerjaaan yang wajib kita kerjakan serta ditentukan waktunya, seperti shalat wajib dan puasa ramadhan. Wajib muaqqat ini dari segi rentang waktu yang disediakan terbagi tiga, yaitu :
*      Wajib muwassa’ ialah suatu pekerjaan wajib yang diluaskan waktunya, yaitu waktunya lebih luas dari waktu mengerjakannya. Contohnya waktu shalat fardu.
*      Wajib mudhayyaq ialah pekerjaan yang disempitkan waktunya tidak melebihi kadar pekerjaan, misalnya puasa ramadhan.
*      Wajib dzu syahabain yaitu pekerjaan yang menyerepuai wajib muwassa’ dan wajib mudhayyaq, misalnya haji.

Ø  Wajib ditinjau dari tuntutan menunaikan atau pelaksana
Wajib ‘ainiy adalah suatu pekerjaan yang dituntut kepada setiap individu atau perorangan, misalnya shalat lima waktu.
Wajib kifa’i atau kifaiyah adalah suatu pekerjaan yang dituntut kepada umat secara keseluruhan, apabila seseorang diantara umat ada melaksanakan kewajiban tersebut, maka dapat menggugurkan kewajiban pada semua orang yang dikenai hukum wajib kifa’i, misalnya merawat jenazah, mengubur jenazah.
Ø  Wajib ditinjau dari kadar yang dituntut atau ukurannya
Wajib muhaddad adalah kewajiban yang ditentukan syara’ kadar ukurannya, contohnya zakat.
Wajib ghairu muhaddad adalah kewajiban yang tidak ditentukan syara’ kadar ukurannya, seperti kewajiban membelanjakan harta dijalan Allah.
Ø  Wajib ditinjau dari bentuk perbuatan yang dituntut atau sifat
Wajib mu’ayyan ialah kewajiban yang dituntut syara’ dengan secara khusus, seperti membaca surat al-fatihah dalam shalat.
Wajib mukhayyar ialah suatu kewajiban yang dibolehkan memilih dari beberapa alternatif hukum yang telah ditentukan, misalnya kafarat sumpah.

2.      Mandub (sunnah)
Mandub adalah sesuatu yang dituntut oleh syar’i untuk dilaksanakan oleh mukallaf secara tidak pasti. Artinya pekerjaan itu disuruh kita melaksanakannya dan diberi pahala, hanya tidak dihukum berdosa bagi yang meninggalkannya. Kata asy-syaukani “mandub itu suatu perintah yang dipuji bagi orang yang mengerjakannya dan tidak dicela bagi orang yang meninggalkannya”.

Macam-macam sunnah :
Ø  Dari segi selalu dan tidak selalunya nabi melakukan perbuatan sunnah
Sunnah muakkadah yaitu perbuatan yang selalu dilakukan oleh nabi disamping ada keterangan yang menunjukkan bahwa perbuatan itu bukanlah sesuatu yang fardu. Contohnya shalat witir dua rakaat fajar sebelum fajar shalat subuh.
Sunnah ghairu muakkad yaitu perbuatan yang pernah dilakukan oleh oleh nabi, tetapi nabi tidak melazimkan dirinya untuk berbuat demikian. Contohnya shalat sunnah empat rakaaat sebelum dhuhur.
Ø  Dari segi kemungkinan meninggalkan perbuatan
Sunnah hadyu yaitu perbuatan yang dituntut untuk melakukannya karena begitu besar faedah yang didapat darinya dan orang yang meninggalkannya dinyatakan sesat dan tercela. Contoh shalat berjama’ah.
Sunnah zaidah yaitu sunnah yang bila dilakukan oleh mukallaf dinyatakanbaik tetapi bila ditinggalkan, yang meninggalkannya tidak diberi sanki apa-apa.
Sunnah nafal yaitu perbuatan yang dituntut sebagai tambahan bagi perbuatan wajib, contohnya shalat tahajud, shalat sunnah yang mengiringi shaalt wajib.

3.      Tahrim (Haram)
Tahrim adalah sesuatu yang dituntut syar’i untuk tidak dikerjakan dengan tuntutan yang pasti. Artinya, bentuk tuntutan larangan itu sendiri menunjukkan kepastian. Dalam istilah hukum, haram ialah : مَا طَلَبَ الشَّا رِعُ اْلكَفَّ عَنْ فِعْلِهِ عَلىَ وَ جْهِ اللُّزُوْمِ  
Sesuatu yang dituntut syar’i (pembuat hukum) untuk tidak memperbuatnya secara tuntutan yang pasti. Contoh perbuatan haram adalah membunuh, berzina memakan bangkai dan lain-lain.

Macam-macam haram :
Haram yang menurut asalnya sendiri adalah haram (haram dzati). Artinya bahwa hukum syara’ telah mengharamkan keharaman itu sejak dari permulaan, seperti zina.
Haram karena sesuatu yang baru (haram ghairi dzati atau ‘ardhi). Artinya suatu perbuatan itu pada mulannya ditetapkan oleh hukum syara’ sebagai suatu kewajiban, kesunahan atau kebolehan, tetapi bersamaan dengan sesuatu yang baru yang menjadikannya haram. Seperti shalat dengan menggunakan baju ghasab.

4.      Karahah (Makruh)
Makruh berati yang tidak disukai. Secara istilah sesuatu yang dituntut oleh pembuat hukum untuk ditinggalkan dalam bentuk tuntutan yang tidak pasti.

Macam-macam makruh :
Menurut ulama’ Hanafiyah makruh dibagi menjadi dua
Ø  Makruh tahrim adalah tuntutan meninggalkan sesuatu perbuatan secara pasti tetapi dalil yang menunjukkannya bersifat dhanni.
Ø  Makruh tanzih yaitu kebalikan dari mandub.

5.      Ibahah (Mubah)
Ibahah adalah aktifitas yang diperbolehkan untuk dikerjakan atau diperbolehkan untuk tidak dikerjakan. Contohnya makan, minum dan lain-lain.
Asy-syatibi membagi mubah menjadi empat macam, yaitu :
Ø  Mubah yang mengikuti suruhan untuk berbuat, contoh makan dan nikah.
Ø  Mubah yang mengikuti suruhan untuk meninggalkan, bermain.
Ø  Mubah yang tidak mengikuti sesuatu.
Ø  Mubah yang tunduk kepada mubah itu sendiri.

6.      Rukhsah dan ‘Azimah
Rukhsah adalah sesuatu hukum yang diatur oleh syara’ karena adanya udzur (halangan) yang menyukarkan. Contoh hukum makan bangkai diwaktu tidak ada makanan sama sekali dan dikhawatirkan jika tidak makan bangkai maka akan mati.
‘Azimah adalah hukum yang dituntut syara’ dan bersifat umum, tidak ditentukan berlakunya atas suatu golongan dan atau keadaan tertentu. Contoh kewajiban menjalankan shalat lima waktu.

E.                 HUKUM WADH’I
Hukum wadh’i adalah suatu ketetapan yang menghendaki sesuatu menjadi sebab yang lain atau menjadi syarat atau penghalang bagi sesuatu yang lain[8].
·         Contoh sesuatu yamg menjadi sebab yang lain وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُواْ أَيْدِيَهُمَا
Artinya : Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (Q.S. Al-Maidah 38).
Ayat ini menetapkan bahwa pencuri  menjadi sebab diwajibkannya memotong tangan.
·         Contoh sesuatu yang menetapkan sesuatu menjadi syarat bagi yang lain
Hadits nabi : Tidak sah nikah kecuali dengan kehadiran wali dan dua orang saksi. Hadits ini menetapkan hadirnya seorang wali dan dua orang saksi menjadi syarat sahnya nikah.
·         Contoh  sesuatu yang menetapkan sesuatu menjadi penghalang bagi sesuatu yang lain
Hadits nabi : Tidak sah shalatnya orang yang tidak membaca surah al-fatihah.
Hadits ini menetapkan bahwa tidak membaca surah al-fatihah menjadi penghalang sahnya shalat.
F.                  PEMBAGIAN HUKUM WADH’I
Hukum wadh’i terbagi menjadi lima:
1.      Sebab
Dalam artian lughawi sebab berarti sesuatu yang dapat menyampaikan kepada apa yang dimaksud. Sepotong tali atau suatu jalan dapat dinamakan “sabab” karena keduanya itu dapat membawa kepada apa yang dituju.
Asy-syuyuti mengatakan sebab ialah sesuatu hal yang diletakkan syara’ untuk sesuatu hokum karena adanya suatu hikmah yang ditimbulkan oleh hukum itu.
Dalam arti istilah dikemukakan oleh para ahli sebagai berikut :
Sesuatu yang jelas dapat diukur yang dijadikan pembuat hukum sebagai tanda adanya hukum, lazim dengan adanya tanda itu ada hukum dan dengan tidak adanya, tidak ada hukum.
Contohnya :
Masuknya bulan ramadhan menjadi pertanda datngnya kewajiban puasa ramadhan. Masuknya bulan ramadhan adalah sesautu yang jelas dan dapat diukur apakah betul bulan ramadhan itu sudah datang atau belum. Masuknya bulan ramadhan disebut sebab, sedangkan datangnya bulan ramadhan disebut musabba atau hukum.

Macam-macam sebab :
Sebab yang berada diluar batas kemampuan mukallaf ialah sebab yang dijadikan Allah SWT sebagai pertanda atas adanya hukum. Contohnya :
اَقِمِ الصَّلاَةَ لِدُلُوكِ الشَّمْسِ إِلَى غَسَقِ اللَّيْلِ
Artinya : Dirikanlah shalat karena tergelincirnya matahari sampai gelap malam. (Q.S. Al-isra’ : 78)
Sebab yang berada dalam batas kemampuan mukallaf ialah sebab dalam bentuk perbuatan mukallaf yang ditetapkan oleh pembuat hukum akibat hukumnya. Contohnya :
Mengqasar shalat, perjalanan itu disebut sebab. Ia adalah perbuatan mukallaf yang dilakukannya dengan sadar dan dalam kemampuannya. Sebab dalam bentuk perbuatan mukallaf ini terbagi menjadi tiga macam :
Sebab dituntut oleh pembuat untuk diadakan, artinya dituntut untuk memperbuatnya. Dituntut dalam bentuk tuntutan meninggalkannya. Diberi izin untuk melakukannya selama berada dalam batas kemampuan mukallaf.
2.      Syarat
Syarat menurut bahasa berati melazimkan sesautu. Syarat adalah sesuatu yang adanya hukum itu tergantung pada adanya sesautu itu, dan tidak adanya menjadikan tidak adanya hukum. Yang dimaksud adalah keberadaannya menurut syara’ yang dapata menimbulkan suatu pengaruh.
Contoh syarat : wali dalam perkawinan yang menurut jumhur ulama’ merupakan syarat. Dengan tidak adanya wali pasti nikah tidak akan sah, tetapi dengan adanya wali belum tentu nikah itu sah karena masih adnya syari’at lain seperti saksi, akad, dan lainnya.

Macam-macam syarat :
Syarat ‘aqli seperti kehidupan menjadi syarat untuk dapat mengetahui. Adanya paham menjadi syarat untuk adanya taklif atau beban hukum.
Syarat ‘adi artinya berdasarkan atas kebiasaan yang berlaku. Contohnya bersatunya api dengan bara yang dapat terbakar menjadi syarat berlangsungnya kebakaran.
Syarat syar’i adalah syarat berdasarkan atas penetapan syara’ yang berlaku. Contohnya sucinya badan menjadi syarat untuk shalat. Nisab menjadi syarat wajibnya zakat.
3.      Mani’(Penghalang)
Mani’ adalah sesautu yang adanya meniadakan hokum atau membatalkan sebab. Dalam suatu masalah, kadang sebab syarat sudah jelas dan telah memenuhi syarat-syaratnya, tetapi ditemukan adanya mani’ (penghalang) yang menghalangi konsekuensi hokum atas amalan tersebut. Seperti adanya perakawinan yang sah atau adanya hokum kekerabatan, tetapi salah satunya terhalang mendapat hak waris, misalnya perbedaan agama antar pewaris dan ahli waris, atau ahli waris membunuh pewaris. Juga seperti adanya pembunuhan yang disengaja dan aniaya, tetapi terhalang untuk dilakukan qishas, karena sipembunuh adalah ayah korban itu sendiri.
Mani’ menurut istilah ulama’ ushul fiqih adalah sesuatu yang ditemukan setelah terbukti sebabnya dan memenuhi syaratnya, tetapi dapat menghalangi sebab dan akibat. Tidak adnya suatu syarat, menurut istilah mereka tidak disebut mani’, meskipun dapat mengahlangi hubungan sebab akibat.
Dalam kaitannya dengan mani’ ini, seorang tidak diperbolehkan secara sengaja menciptakan mani’ supaya terhindar dari tuntutan hokum syara’. Misalnya supaya terhindar dari kewajiban zakat, seorang peternak kambing menjual satu ekor kambingnya supaya tidak mencapai satu nisab. Perbuatan seperti ini dilarang dan pelakunya berdosa. Tindakan seperti ini disebut dengan khiyal atau helat hokum, yaitu mencari-cari cara agar terhindar dari tuntutan hukum syara’.
4.      Sah dan batal
Sah adalah terpenuhinya semua syarat dan rukun paa perbuatan orang mukallaf. Sah disini membawa akibat timbulnya pengeruh dari perbuatan tersebut secara syar’i. Jika perbuatan tersebut menyangkut ibadah, maka ia terbebas dari tanggungannya, seperti ia dikatakan sah, dan karenanya, ia bebas dari tuntutan melaksanakan shalat tersebut. Jika perbuatan tersebut merupakan muamalah, seperti jual beli dan sewa menyewa, maka akibat hukum dari tingkatan tersebut berlaku pada pihak-pihak yang mengadakan transaksi.
Batal ialah tidak terpenuhinya syarat dan rukun pada perbuatan orang yang mukallaf. Jika satu perbuatan tidak memenuhi syarat dan rukunya, maka ia dinamakan batal. Artinya, ia tidak menimbulkan akibat hukum. Misalnya, shalat yang tidak sah tidak membebaskan seseorang dari tanggung jawabnya untuk melakukan shalat, jual beli yang tidak sah tidak mengakibatkan berpindahnya kepemilikan barang pada pembeli dan kepemilikan harga pada penjual.














BAB III

PENUTUP

A.    KESIMPULAN
Kata syara’ secara etimologi adalah jalan, jalan yang biasa dilalui air. Artinya adalah jalan yang biasa dilalui manusia untuk menuju kepada Allah SWT. Dan secara sederhana berarti “ketentuan Allah” dan didalam al-qur’an kata syara’ ini mengalami pengulangan sebanyak lima kali yang berarti ketentuan atau jalan yang harus ditempuh. Bila kata hukum dirangkai dengan kata syara’ yaitu “hukum syara’ “ akan berarti seperangkat peraturan berdasarkan ketentuan Allah tentang tingkah laku manusia yang diakui dan diyakini berlaku serta mengikat untuk semua umat yang beragama islam. Hukum syara’ itu terbagi dua macam : hukum taklifi dan hukum wadh’i.
Hukm taklifi adalah segala sesuatu yang menghendaki tuntutan untuk mengerjakan, meninggalkan, atau pilihan antara keduanya. Disebut hukum taklifi karena pengenaan beban pada orang mukallaf, baik itu melakukan atau mencegah perbuatan maupun kebolehan antara melakukan atau mencegah perbuatan itu. Hukum taklifi dibagi menjadi 6, yaitu : Wajib, Mandub, Haram, Karahah, Mubah, Rukhsah dan Azimah.
 Hukum wadh’i adalah suatu ketetapan yang menghendaki sesuatu menjadi sebab yang lain atau menjadi syarat atau penghalang bagi sesuatu yang lain. Hukum wadh’i dibagi menjadi 5, yaitu : Sabab, Syarat, Mani’, Shah, Batal.

B.     SARAN DAN KRITIK
Saran dan kritik yang membangun sangat dibutuhkan oleh penulis dalam memperbaiki makalah ini, karena penulis tahu bahwa dalam penulisan makalah ini banyak sekali terdapat kesalahan dan jauh dari kata sempurna. Wallahu ‘alam bissawab.









DAFTAR PUSTAKA
Syarifuddin Amir. 2009. Ushul Fiqih jilid 1. Jakarta : Kencana 2009.
Umar Muin, Tolehah Mansoer, Zahri Ahmad. 1986. Ushul Fiqih 1. Jakarta : Departemen Agama.
Wawan Djunaeni. 2008. Fikih. Jakarta : PT. Listakariska putra.
Ma’shum Zein. 2008. Zubdah ushul al-fiqh. Jombang-jatim : Darul hikmah.
Suratno, Anang Zamroni. 2012. Fikih. Jakarta : Kementrian Agama.
Abdul Wahab Khallaf. 2002. Ilmu Ushul Fiqih. Mojokerto : Pustaka Amani-jakarta.
Suwarjin. 2012. Ushul Fiqih. Yogjakarta : Teras.
www.google.com. Jum’at, 13 maret 2015. 08 : 45.
 
   






 


     

  


 





[1]Amir syarifuddin. 2009. Ushul Fiqih. Jakarta: kencana. Hal 333.
[2] Amir syarifuddin. 2009. Ushul Fiqih. Jakarta: kencana. Hal 334.
[3] Khitab Allah adalah firman Allah secara langsung (al-qur’an) atau dengan perantara, yaitu segala hal yang kembali pada kalam-Nya, baik berupa sunnah, ijma’, maupun semua dalil syar’iyyah yang digariskan oleh syar’i untuk diketahui hukumnya.
[4] Iqtida’ adalah tuntutan, baik menuntut untuk melakukan maupun meninggalkan, baik melaui jalan ilzam maupun tarjih.
[5] Takhyir adalah menyamakan antara melakukan sesuatu atau meninggalkan sesuatu tanpa mentarjih salah satunya atau membolehkan kedua hal tesebut dari orang mukallaf.
[6] Wadh’i adalah menetapkan sesuatu sebagai sebab yang lain atau syarat yang alain atau mani’ yang lain.
[7] Wajib atau wujub dalam bahasa sinonim dengan kata al-Tsubut atau al-Luzuni (artinya tetap atau positif) al-Suquth (artinya gugur) seperti firman Allah فا ا ذا و جبت جنو بها ا ى سقطت  ibnu mandzur, lisan al-‘arab , juz 1, hal 793, atau ibnu farkah, syarakh.
[8] Suratno, anang zamroni. 2012. Fikih. Jakarta : kementrian agama. Hal 109.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar