Kamis, 23 April 2015

HADITS DLAIF

MAKALAH
HADITS DLAIF
Disususn Guna Memenuhi Tugas Mata kuliah : ‘Ulumul Hadits
Dosen Pengampu: Hj. SRI PURWANINGSIH, M.Ag



Disusun oleh;
Vina Qurotul ‘Uyun                               (1404026009)
Lailin Najihah                                        (1404026010)
Nur Masrihatun Annisah                        (1404026020)





FAKULTAS USHULUDDIN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG
2014

BAB I
PENDAHULUAN

A.    LATAR BELAKANG
Seperti yang sudah kita ketahui bersama bahwa dalam ajaran Islam yang menjadi acuan utama dalam menetapkan suatu hokum adalah al-qur’an sebagai sumber utamanya, dan ini merupakan suatu pendapat yang sudah masyhur dikalangan para ulama’ dan mayoritas ulama’ pun menyepakatinya. Disamping itu kita selain mengambil rujukan utama dalam al-qur’an, apabila didalam al-qur’an tidak ditemukan suatu hokum yang kita cari tentang sumber hukumnya, maka merujuk pada yang namanya hadits, dan hadits ini mayoritas ulama’ juga menyepakati tentang keberadaannya sebagai sumber kedua setelah al-qur’an, walaupun disamping itu ada pula yang tidak menggunakan hadits, atau yang lebih familiarnya dikatakan sebagai golongan inkarus sunah. Tapi sebagai seorang umat islam tentunya kita tahu bahwa tidak semua hadits yang selama ini kita gunakan untuk menetapkan suatu hokum adalah shahih, ataupun hasan, disamping itu pula ada yang bersifat dlaif.
Disetiap merujuk suatu hokum dengan berdalil menggunakan hadits tentunya kita harus lebih berhati-hati dalam menggunakannaya, karena selama ini yang kita anggap bahwa semua hadits itu berasal dari Rasulullah ternyata anggapan itu salah, ada sebuah hadits yang hanya sampai kepada sahabat, tabi’in, bahkan ada juga yang hanya sampai kepada tabi’ut tab’in saja. Dan itu lebih sering disebut dengan hadits dlaif. Untuk lebih jelasnya maka dalam makalah ini akan dibahas tentang hadits dlaif, dan diharapkan makalah ini semoga bisa bermanfaat bagi penulis khususnya dan pembaca pada umumnya.

A.    RUMUSAN MASALAH
Adapun rumusan masalah yang akan dibahas adalah sebagai berikut:
1.      Apa pengertian dari hadits dlaif?
2.      Apa sebab-sebab hadits dlaif bisa terangkat?
3.      Apa macam-macam hadits dlaif?
4.      Bagaimana kehujjahan hadits dlaif?


B.     TUJUAN MASALAH
Adapun tujuan dari rumusan masalah diatas adalah sebagai berikut:
1.      Mengetahui pengertian dari hadits dlaif
2.      Mengetahui penyebab terangkatnya hadits dlaif
3.      Mengetahui macam-macam dari hadits dlaif
4.      Mengetahui kehujjahan hadits dlaif

















BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Hadits Dlaif
Secara etimologi dlaif artinya lemah, lawan dari kuat. Istilah hadits dlaif berarti hadits yang lemah atau hadits yang tidak kuat.
Ø  Menurut Jalaluddin As-Syuyuti (wafat tahun 119 H) hadits dlaif adalah:
ماَ لَمْ يَجْمَعُ فِيْهِ صِفَا تٌ الصَّحِيْحِ وَ لاَ صِفَا تُ ا محَسَنِ
“ hadits yang tidak memenuhi kriteria hadits shahih dan hasan”
Ø  Menurut An-Nawawi, hadits dlaif adalah:
مَا لَمْ يُوْ جَدْ فِيْهِ شُرُوْطُ الصِّحَّةِ وَلاَ شُرُوْطُ الحَسَنِ
“hadits yang didalamnya tidak terdapat syarat-syarat hadits shahih dan syarat-syarat hadits hasan”
Ø  Menurut Nur Ad-Din ‘Atr, hadits dhaif adalah:
مَا فَقِدَ شَرْطاً مِنْ شُرُوْطِ الحَدِيْثِ الْمَقْبُوْلِ
“hadits yang hilang salah satu syaratnya dari syarat-syarat hadits maqbul (hadits yang shahih atau hadits yang hasan)”
Ø  Ulama’ lain menyebut bahwa hadits dlaif adalah:
كُلُّ حَدِيْثٍ لَمْ يَجْتَمِعْ فِيْهِ صِفَاتُ الْمَقْبُوْلِ
“hadits yang didalamnya tidak terkumpul sifat-sifat maqbul”

Dengan demikian, hadits dlaif merupakan hadits yang salah satu syarat atau lebih dari persyaratan-persyaratan hadits shahih atau hadits hasan tidak terpenuhi.

Lima persyaratan untuk menentukan kriteria sebuah hadits, yaitu kesinambungan sanad, keadilan rawi, ke dlabitan rawi, tidak terdapat kejanggalan (syaz), dan terhindar dari cacat (‘illat), dapat dijadikan standar untuk menilai apakah termasuk shahih, hasan, atau dlaif.

B.     Hadits Dlaif yang disertai dengan beberapa Jalur Periwayatan
Imam Syuyuti dengan mengutip pendapat Ibn. Hajar al-Asqalani mengatakan bahwa hadits dlaif yang disebabkan karena kedustaan seorang rawi atau karena kefasiqan seorang rawi tidak dapat meningkat kepada derajat yang lebih tinggi meskipun banyak jalur periwayatan yang semisal. Hal ini dikarenakan karena kedlaifan yang sangat. Akan tetapi, ia menambahkan bahwa hadits dlaif dapat naik derajatnya yang lebih tinggi (derajat hadits hasan), jika banyaknya jalur periwayatan itu sampai kepada derajat mastur, derajat buruk hafalan, sekiranya ditemukan melalui jalur yang lain dan dlaifnya mendekati diamalkannya.
Demikian juga, Abi al-Hasan al-Qaan memberikan suatu petunjuk bahwa hadits dlaif dapat dijadikan hujjah secara keseluruhan, akan tetapi dapat diamalkan untuk keutamaan amal, dan mauquf (tidak berlaku), jika diterapkan dalam permasalahan hukumkecuali didukung oleh banyak jalur atau karena adanya persesuian dengan syahid (perawi pendukung yang berasal dari sahabat), hadits-hadits shahih atau sesuai dengan dhahirnya al-qur’an.
Ibn Hajar al-Asqalani menambahkan bahwa hadits dlaif yang terjadi karena rawi tersebut mengalami buruk hafalannya, dapat naik ke derajat yang lebih tinggi, jika didukung oleh beberapa jalur periwayatan.
Imam Nawawi juga menyatakan hal yang sama bahwa hadits dlaif yang didukung dengan beberapa jalur akan meningkat kepada derajat hasan dan menjadi dapat diterima dan diamalkan.

C.     Macam-macam Hadits Dlaif
Para ulama’ berbeda pendapat dalam membagi macam-macam hadits dlaif. Al-hafiz Abdurrahim al-iraqi (wafat tahun 806 H) membagi hadits dlaif ke dalam 42 bagian. Meski demikian, secara garis besar pembagian hadits dlaif dapat dilihat dari dua factor utama. Pertama factor kesinambungan sanad hadits. Kedua, factor-faktor lain diluar kesinambungan sanad.
Dari sisi kesinambungan sanad pada hadits dlaif, terbagi dalam lima macam hadits, yakni:
1.      Hadits Mursal
Hadits mursal adalah hadits yang terputus sanadnya pada tingkatan shahabiy (sahabat), sehingga dari tingkat tabi’in langsung ditarik kepada Nabi Muhammad saw. Tanpa menyebutkan generasi sahabat. Contoh:
عَنْ مَا لِكٍ عَنْ عَبْدِ االَّهِ بْنِ اَبِيْ بَكْرِ بْنِ حَزْمٍ اَنَّ فِى الْكِتَا بِ الَّذيْ كَتَبَهُ رَسُوْلُ الّلَه عَلَيْهِ وَسَلَّم لِعَمْرٍ بْنِ حَزْمٍ اَنْ لاَ يَمَسَّ القُرْآنَ اِلاَّ طاَهِرٌ
“dari malik dari abdillah bin abi bakr bin hazm, bahwa dalam surat yang ditulis Rasulullah saw. Kepada amr bin hazm (tersebut) : “bahwa tidak menyentuh al-qur’an melainkan orang yang suc”
Abdullah bin abi bakar ini seorang tabi’in, sedang seorang tabi’in tidak semasa dan tidak bertemu dengan Rasulullah saw.
Hadits mursal menurut kebanyakan ulama’ merupakan bagian dari hadits dlaif. Imam muslim didalam muqadimah as-shahih (1/30) berkata: “riwayat yang mursal menurut pendapat kami dan pendapat ahli hadits tidak dapat menjadi hujjah”. Hanya saja, kedlaifan hadits mursal adalah ringan. Ia akan hilang apabila diikuti dengan riwayat yang setara ke dlaifannya atau lebih shahih.
2.      Hadits Munqathi’
Hadits munqathi’ adalah hadits yang terputus sanadnya seorang rawi atau beberapa rawi tetapi tidak secara berturut-turut. Contoh:
حَدَّ ثَنَا قُتَيْبَةُ حَدَّ ثَنَا اَبُو عَوَانَةَ عَنْ هِشَامِ بْنِ عُرْوَةَ عَنْ اَبِيهِ عَنْ فَا طِمَةَ بَنْتِ مُنْذِرِ عَنْ اُمِّ سَلاَمَةَ قَا لَتْ قَا لَ رَسُولُ اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّم لاَيُحَرِّمُ مِنَالرِّضَا عَةِ اِلاَّ مَا فَتَقَ الْاَمْعَاءَ فِى الثَّدْيِ وَكَا نَ قَبْلَ الْفِطَامِ       
“telah mengkhabarkan kepada kami qutaibah, telah menceritakan kepada kami abu awanah telah menceritakan kepada kami hisyam bin urwah dari Fatimah binti mundzir, ummil mukminin, ia berkata: telah bersabda Rasulullah saw. “tidak menjadikan haram dari penyusunan, melainkan apa-apa yang sampai dipencernaan sari susu, dan adalah (teranggap hal ini) sebelum (anak) berhenti (dari minum susu)…”(H.R. Tirmidzi:1072)
Fatimah binti mundzir tidak mendengar hadits tersebut dari ummu salamah, waktu ummu salamah meninggal Fatimah masih kecil dan tidak bertemu dengannya. Jadi, terang antara Fatimah dan ummu salamah ada seorang rawi yang digugurkan.
3.      Hadits Mu’dhal
Hadits mu’dhal adalah hadits yang terputus sanadnya dua perawi atau lebih secara berturut-urut. Contoh:
اَخْبَرَنَا سَعِيدُ بْنُ سَالِمْ عَنِ بْنِ جُرَيْجٍ اَنَّ رَسُوْلُ اللَّه صَلَى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمْ كَانَ اِذَا رَاَى البَيْتِ رَفَعَ يَدَيْهِ(الشافعى)
“telah mengkhabarkan kepada kami sa’id bin salim dari abu juraij, bahwa Nabi saw apabila melihat Baitullah beliau mengangkat kedua tangannya”(asy-syafi’i)
Ibnu juraij itu tidak semasa dengan Nabi saw bahkan masa hidupnya dibawah tabi’in. jadi, antara dia dan Rasulullah ada dua orang perantara yaitu tabi’in dan sahabat. Karena kedua orang dari tingakatan itu tidak ada, hadits tersebut dinamakan hadits mu’dhal.
4.      Hadits Mudallas
Hadits mudallas adalah hadits yang isnadnya tersembunyi. Baik itu tersembunyi sanadnya atau guru (syaikh)-nya. Contoh:
رَوِيَالنُّعْمَا نَ بْنُ رَاشَدٍ عَنِالزُّهْرِيِّ عَنْ عَا ئَشَةَ اَنَّ رَسُوْ لُ اللَّه صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمْ لَمْ يَضْرِبِ امْرَاَةً قَطُّ وَلاَ خَادِمًا اِلاَّاَنْ يُّجَاهِدَ فِيْ سَبِيْلِ اللَّه
“diriwayatkan oleh an-nu’man bin rasyid dari zuhri dari urwah dari ‘aisyah bahwa Rasulullah saw tidak pernah berkali-kali memukul perempuan dan tidak juga seorang pelayan melainkan jika ia berjihad dijalan Allah.
Ketika melihat susunan sanad ini, dapat dikatakan bahwa zuhri mendengar riwayat itu dari urwah karena memang dia sering meriwayatkan dari urwah.
Anggapan ini keliru karena imam abu hatim mengatakan, bahwa zuhri tidak pernah mendengar hadits tersebut dari urwah. Ini berarti antara zuhri dan urwah ada seorang rawi yang tidak disebut oleh zuhri.
Karena zuhri tidak mendengar riwayat tersebut dari urwah tetapi mendengar dari rawi lain maka tersamarlah sanadnya. Oleh karenanya hadits tersebut dinamakan mudallas. Perbuatan menyamarkan atau menyembunyikan disebut tadlis, sedangkan orangnya disebut mudallis.     
5.      Hadits Mu’allal
Hadits mu’allal adalah hadits yang memiliki cacat (‘illat) sehingga bias menyingkap atas ketidak shahihannya meski secara lahir tidak tampak memiliki cacat. Contoh:
حَدَّ ثَنَا اِسْحَا قُ بنُ مَنْصُرٍ حَدَّ ثَنَا عَبدُ ا للَّه بنُ نُمَيْرٍ حَدَّ ثَنَا عُبَيْدُاللَّه بنِ عُمَرَ عَنْ نَا فِعٍ عَنْ سِعِيْدِ بنِ اَبِي هِنْدٍ عَنْ اِبِي مُسَى الْاَشْعَارِيِّ اَنَّ رَسُوْلُ اللَّه صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَا لَ حُرِّمَ لِبَاسُ الْحَرِيْرِ وَالذَّ هَبِ عَلَى ذُكُوْرِاُمَّتِى وَاُحِلَّ لِاِنَاثِهِمْ(الترميدي:1642
“telah menceritakan kepada kami ishaq bin Mansur, telah menceritakan kepada kami Abdullah bin numair, telah menceritakan kepada kami ubaidillah bin umar dari nafi’, dari sa’id bin abi hindin, dari abi musa al-asy’ari, bahwa Rasulullah saw bersabda: “telah diharamkan memakai sutera ari emas atas orang laki-laki dari umatku dan dihalalkan bagi perempuan-perempuan mereka. (H.R.Tirmidzi1642)
Secara lahir rawi terpercaya dan sanadnya bersambung terus kepada Nabi, sanad hadits tersebut dikatakan sah. Akan tetapi, sesudah diperiksa oleh ulama’, terdapat fakta bahwa sa’id bin abi hindin tidak pernah mendengar hadits dari abi musa.
Disebabkan sanad tersebut secara lahir sah, tetapi sudah diselidiki terdapat penyakit atau cacatnya, sanad hadits tersebut hadits mu’allal.

Sementara ditinjau dari factor selain kesinambungan sanad, hadits dlaif dibagi dalam bebeapa bagian sebagai berikut:
1.      Hadits Mudha’af
Hadits mudha’af adalah hadits yang belum terkumpul sifat dlaifnya, namun dianggap dlaif oleh ahli hadits yang lain, pada sanad maupun matan hadits, bahkan juga dikuatkan oleh ahli hadits lain. Oleh karena itu, hadits ini memilik derajat tertinggi dibanfingkan hadits dlaif yang lain.


2.      Hadits Mudtarib
Hadits mudtarib adalah hadits yang diriwayatkan oleh seorang rawi atau beberawi rawi yang berbeda-beda, dimana antara yang satu dengan yang lain salig bertentangan tanpa ada kemungkinan membuat tarjih.
3.      Hadits Maqlub
Hadits maqlub adalah hadits yang sebagian para perawinya terbalik dalam penyebutan sebagian matanatau nama orang yang dinisbatkan dalam sanad.
4.      Hadits Syadz
Hadits syadz adalah hadits yang diriwayatkan oleh rawi yang bisa diterima namun memiliki perbedaan dengan rawi lain yang memiliki derajat lebih utama.
5.      Hadits Munkar
Hadits munkar adalah hadits yang diriwayatkan rawi yang dlaif (lemah), riwayatnya bertentangan dengan rawi yang lebih stiqah.
6.      Hadits Matruk
Hadits matruk adalah hadits yang diriwayatkan oleh seorang rawi yang dlaif karena posisi rawinya dituduh berbuat berdusta dalam hadits atau tampak sifat fasiq dalam suatu pekataan atau perbuatan.

D.    Kehujjahan Hadits Dlaif
Ibnu Hajr Al-Asqalani memberikan beberapa kriteria yang berkaitan dengan pengamalan hadits dlaif, antara lain:
·         Hadits dlaif dengan tingkat kedlaifan yang tidak sangat. Syarat ini adalah syarat yang disepakati para ulama’.
·         Hadits dlaif bisa diamalkan apabila berkaitan fada’ilul ‘amal, janji, nasihat, dan ancaman, bukan pada persoalan akidah dan hokum.
·         Hendaknya tidak mempunyai keyakinan untuk menetapkan hadits dlaif berasal dari Nabi, akan tetapi lebih bersikap hati-hati dalam menisbatkan kepada Rasulullah saw.
·         Perbuatan itu masuk kebawah suatu dasar yang umum. Karena itu, tidak masuk dalam kategori bila perbuatan itu tidak mempunyai dasar apapun dari beberapa kaidah dalma Islam.
Kebanyakan ulama’ madzhab dalam menggunakn hadits dlaif mempertimbangkan beberapa kriteria yang ketat, diantaranya adalah:
Madzhab kebanyakan ahli hadits dan khuffad, termasuk didalam imam bukhari dan imam muslim menyatakan bahwa penggunaan terhadap hadits dlaif secara mutlaq tidak diperbolehkan, baik itu dalam persoalan-persoalan hokum, ataupun pada persoalan-persoalan ajaran agama yang bersifat nasihat ataupun keutamaan amal. Seluruh ajaran agama harus bersumber kepada hadits shahih dan menjadikan hadits dlaif sebagai tambahan ajaran agama adalah tindakan yang tidak berdasarkan pada dimensi keilmuan. Pendapat ini juga diikuti oleh Al-Qadhi Abu bakar ibn ‘Arabiy.
Penggunaan hadits dlaif di perbolehkan secara mutlak. Pendapat ini di populerkan oleh Abu Dawud dan Imam Ahmad bin Hambal sebagaimana di kutip oleh Imam Syuyuti. Keduanya beralasan bahwa hadis dlaif lebih kuat bila di bandingkan pendapat para ulama. Artinya, bahwa mazhab yang kedua ini menyatakan bahwa penggunaan hadis dlaif di perbolehkan apabila tidak di temukan hadis sahih, hasan, ataupun fatwa para sahabat Nabi.
Mazhab ahli fiqih menyatakan bahwa penggunaan hadis dlaif hanya berlaku pada persoalan keutamaan-keutamaan amal. Pernyataan ini di perkuat dari riwayat yang berasal dari Abdur Rohman Bin Mahdii, sebagaimana di keluarkan Imam Baihaqi yang menyatakan bahwa Nabi telah bersabda: pada persoalan halal dan haram serta persoalan hokum kami sangat ketat dalam penggunaan sanad, dan pada persoalan selain hal tersebut kami longgar dalam mempergunakan sanad. Pendapat ini juga di ikuti oleh Ibnu Mubarok.






BAB III
PENUTUP

A.    KESIMPULAN
Secara etimologi dlaif artinya lemah, lawan dari kuat. Istilah hadits dlaif berarti hadits yang lemah atau hadits yang tidak kuat.
Lima persyaratan untuk menentukan kriteria sebuah hadits, yaitu kesinambungan sanad, keadilan rawi, ke dlabitan rawi, tidak terdapat kejanggalan (syaz), dan terhindar dari cacat (‘illat), dapat dijadikan standar untuk menilai apakah termasuk shahih, hasan, atau dlaif.
Dengan demikian, hadits dlaif merupakan hadits yang salah satu syarat atau lebih dari persyaratan-persyaratan hadits shahih atau hadits hasan tidak terpenuhi.
Mengutip dari beberapa pendapat para tokoh ulama’ hadits tentang terangkatnya hadits dlaif ini bias saja terjadi dengan catatan kedlaifannya tidak sangat, disamping itu pula ada syahid yang mengkuatkannya.
Para ulama’ berbeda pendapat dalam membagi macam-macam hadits dlaif. Al-hafiz Abdurrahim al-iraqi (wafat tahun 806 H) membagi hadits dlaif ke dalam 42 bagian. Meski demikian, secara garis besar pembagian hadits dlaif dapat dilihat dari dua factor utama. Pertama factor kesinambungan sanad hadits. Kedua, factor-faktor lain diluar kesinambungan sanad.
Kebanyakan ulama’ madzhab dalam menggunakn hadits dlaif mempertimbangkan beberapa kriteria yang ketat.
B.     SARAN DAN KRITIK
Saran dan kritik yang mendukung sangat diperlukan untuk memperbaiki makalah kami, karena kami tahu dalam penyusunan makalah ini sungguh kurang dari kata sempurna dan masih banyak sekali terdapat kesalahan.






DAFTAR PUSTAKA
Muslim, mohammad akib. 2010. Ilmu musthalahul hadits. Kediri, jawa timur. Stain Kediri press.
Hasan, musthafa. 2012. Ilmu hadits. Bandung. Pustaka setia.
Rosidin, mukarrom faisal. 2012. Hadits. T.t. t.p.

    

Tidak ada komentar:

Posting Komentar