MAKALAH
HADITS DLAIF
Disususn Guna Memenuhi Tugas Mata kuliah : ‘Ulumul Hadits
Dosen Pengampu: Hj. SRI PURWANINGSIH, M.Ag
Disusun oleh;
Vina Qurotul ‘Uyun (1404026009)
Lailin Najihah (1404026010)
Nur Masrihatun Annisah (1404026020)
FAKULTAS USHULUDDIN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG
2014
BAB I
PENDAHULUAN
A.
LATAR
BELAKANG
Seperti yang
sudah kita ketahui bersama bahwa dalam ajaran Islam yang menjadi acuan utama
dalam menetapkan suatu hokum adalah al-qur’an sebagai sumber utamanya, dan ini
merupakan suatu pendapat yang sudah masyhur dikalangan para ulama’ dan
mayoritas ulama’ pun menyepakatinya. Disamping itu kita selain mengambil
rujukan utama dalam al-qur’an, apabila didalam al-qur’an tidak ditemukan suatu
hokum yang kita cari tentang sumber hukumnya, maka merujuk pada yang namanya
hadits, dan hadits ini mayoritas ulama’ juga menyepakati tentang keberadaannya
sebagai sumber kedua setelah al-qur’an, walaupun disamping itu ada pula yang
tidak menggunakan hadits, atau yang lebih familiarnya dikatakan sebagai
golongan inkarus sunah. Tapi sebagai seorang umat islam tentunya kita tahu
bahwa tidak semua hadits yang selama ini kita gunakan untuk menetapkan suatu
hokum adalah shahih, ataupun hasan, disamping itu pula ada yang bersifat dlaif.
Disetiap
merujuk suatu hokum dengan berdalil menggunakan hadits tentunya kita harus
lebih berhati-hati dalam menggunakannaya, karena selama ini yang kita anggap
bahwa semua hadits itu berasal dari Rasulullah ternyata anggapan itu salah, ada
sebuah hadits yang hanya sampai kepada sahabat, tabi’in, bahkan ada juga yang
hanya sampai kepada tabi’ut tab’in saja. Dan itu lebih sering disebut dengan
hadits dlaif. Untuk lebih jelasnya maka dalam makalah ini akan dibahas tentang hadits
dlaif, dan diharapkan makalah ini semoga bisa bermanfaat bagi penulis khususnya
dan pembaca pada umumnya.
A.
RUMUSAN
MASALAH
Adapun rumusan masalah yang akan dibahas adalah sebagai berikut:
1.
Apa
pengertian dari hadits dlaif?
2.
Apa
sebab-sebab hadits dlaif bisa terangkat?
3.
Apa
macam-macam hadits dlaif?
4.
Bagaimana
kehujjahan hadits dlaif?
B.
TUJUAN
MASALAH
Adapun tujuan dari rumusan masalah diatas adalah sebagai berikut:
1.
Mengetahui
pengertian dari hadits dlaif
2.
Mengetahui
penyebab terangkatnya hadits dlaif
3.
Mengetahui
macam-macam dari hadits dlaif
4.
Mengetahui
kehujjahan hadits dlaif
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Hadits Dlaif
Secara
etimologi dlaif artinya lemah, lawan dari kuat. Istilah hadits dlaif berarti
hadits yang lemah atau hadits yang tidak kuat.
Ø Menurut Jalaluddin As-Syuyuti (wafat tahun 119 H) hadits dlaif
adalah:
ماَ لَمْ يَجْمَعُ فِيْهِ صِفَا تٌ الصَّحِيْحِ
وَ لاَ صِفَا تُ ا محَسَنِ
“ hadits yang tidak
memenuhi kriteria hadits shahih dan hasan”
Ø Menurut An-Nawawi, hadits dlaif adalah:
مَا لَمْ يُوْ جَدْ
فِيْهِ شُرُوْطُ الصِّحَّةِ وَلاَ شُرُوْطُ الحَسَنِ
“hadits yang
didalamnya tidak terdapat syarat-syarat hadits shahih dan syarat-syarat hadits
hasan”
Ø Menurut Nur Ad-Din ‘Atr, hadits dhaif adalah:
مَا فَقِدَ شَرْطاً
مِنْ شُرُوْطِ الحَدِيْثِ الْمَقْبُوْلِ
“hadits yang hilang
salah satu syaratnya dari syarat-syarat hadits maqbul (hadits yang shahih atau
hadits yang hasan)”
Ø Ulama’ lain menyebut bahwa hadits dlaif adalah:
كُلُّ حَدِيْثٍ لَمْ
يَجْتَمِعْ فِيْهِ صِفَاتُ الْمَقْبُوْلِ
“hadits yang
didalamnya tidak terkumpul sifat-sifat maqbul”
Dengan demikian, hadits
dlaif merupakan hadits yang salah satu syarat atau lebih dari
persyaratan-persyaratan hadits shahih atau hadits hasan tidak terpenuhi.
Lima persyaratan
untuk menentukan kriteria sebuah hadits, yaitu kesinambungan sanad, keadilan
rawi, ke dlabitan rawi, tidak terdapat kejanggalan (syaz), dan terhindar dari
cacat (‘illat), dapat dijadikan standar untuk menilai apakah termasuk shahih,
hasan, atau dlaif.
B.
Hadits Dlaif yang
disertai dengan beberapa Jalur Periwayatan
Imam Syuyuti dengan
mengutip pendapat Ibn. Hajar al-Asqalani mengatakan bahwa hadits dlaif yang
disebabkan karena kedustaan seorang rawi atau karena kefasiqan seorang rawi
tidak dapat meningkat kepada derajat yang lebih tinggi meskipun banyak jalur
periwayatan yang semisal. Hal ini dikarenakan karena kedlaifan yang sangat.
Akan tetapi, ia menambahkan bahwa hadits dlaif dapat naik derajatnya yang lebih
tinggi (derajat hadits hasan), jika banyaknya jalur periwayatan itu sampai
kepada derajat mastur, derajat buruk hafalan, sekiranya ditemukan melalui jalur
yang lain dan dlaifnya mendekati diamalkannya.
Demikian juga, Abi
al-Hasan al-Qaan memberikan suatu petunjuk bahwa hadits dlaif dapat dijadikan
hujjah secara keseluruhan, akan tetapi dapat diamalkan untuk keutamaan amal,
dan mauquf (tidak berlaku), jika diterapkan dalam permasalahan hukumkecuali
didukung oleh banyak jalur atau karena adanya persesuian dengan syahid (perawi
pendukung yang berasal dari sahabat), hadits-hadits shahih atau sesuai dengan
dhahirnya al-qur’an.
Ibn Hajar
al-Asqalani menambahkan bahwa hadits dlaif yang terjadi karena rawi tersebut
mengalami buruk hafalannya, dapat naik ke derajat yang lebih tinggi, jika
didukung oleh beberapa jalur periwayatan.
Imam Nawawi juga
menyatakan hal yang sama bahwa hadits dlaif yang didukung dengan beberapa jalur
akan meningkat kepada derajat hasan dan menjadi dapat diterima dan diamalkan.
C.
Macam-macam Hadits
Dlaif
Para ulama’ berbeda
pendapat dalam membagi macam-macam hadits dlaif. Al-hafiz Abdurrahim al-iraqi
(wafat tahun 806 H) membagi hadits dlaif ke dalam 42 bagian. Meski demikian,
secara garis besar pembagian hadits dlaif dapat dilihat dari dua factor utama.
Pertama factor kesinambungan sanad hadits. Kedua, factor-faktor lain diluar
kesinambungan sanad.
Dari sisi
kesinambungan sanad pada hadits dlaif, terbagi dalam lima macam hadits, yakni:
1.
Hadits Mursal
Hadits mursal
adalah hadits yang terputus sanadnya pada tingkatan shahabiy (sahabat),
sehingga dari tingkat tabi’in langsung ditarik kepada Nabi Muhammad saw. Tanpa
menyebutkan generasi sahabat. Contoh:
عَنْ مَا لِكٍ عَنْ
عَبْدِ االَّهِ بْنِ اَبِيْ بَكْرِ بْنِ حَزْمٍ اَنَّ فِى الْكِتَا بِ الَّذيْ
كَتَبَهُ رَسُوْلُ الّلَه عَلَيْهِ وَسَلَّم لِعَمْرٍ بْنِ حَزْمٍ اَنْ لاَ
يَمَسَّ القُرْآنَ اِلاَّ طاَهِرٌ
“dari malik dari
abdillah bin abi bakr bin hazm, bahwa dalam surat yang ditulis Rasulullah saw.
Kepada amr bin hazm (tersebut) : “bahwa tidak menyentuh al-qur’an melainkan
orang yang suc”
Abdullah bin abi
bakar ini seorang tabi’in, sedang seorang tabi’in tidak semasa dan tidak
bertemu dengan Rasulullah saw.
Hadits mursal
menurut kebanyakan ulama’ merupakan bagian dari hadits dlaif. Imam muslim
didalam muqadimah as-shahih (1/30) berkata: “riwayat yang mursal menurut pendapat
kami dan pendapat ahli hadits tidak dapat menjadi hujjah”. Hanya saja,
kedlaifan hadits mursal adalah ringan. Ia akan hilang apabila diikuti dengan
riwayat yang setara ke dlaifannya atau lebih shahih.
2.
Hadits Munqathi’
Hadits munqathi’
adalah hadits yang terputus sanadnya seorang rawi atau beberapa rawi tetapi
tidak secara berturut-turut. Contoh:
حَدَّ ثَنَا قُتَيْبَةُ حَدَّ ثَنَا اَبُو
عَوَانَةَ عَنْ هِشَامِ بْنِ عُرْوَةَ عَنْ اَبِيهِ عَنْ فَا طِمَةَ بَنْتِ
مُنْذِرِ عَنْ اُمِّ سَلاَمَةَ قَا لَتْ قَا لَ رَسُولُ اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّم
لاَيُحَرِّمُ مِنَالرِّضَا عَةِ اِلاَّ مَا فَتَقَ الْاَمْعَاءَ فِى الثَّدْيِ
وَكَا نَ قَبْلَ الْفِطَامِ
“telah
mengkhabarkan kepada kami qutaibah, telah menceritakan kepada kami abu awanah
telah menceritakan kepada kami hisyam bin urwah dari Fatimah binti mundzir,
ummil mukminin, ia berkata: telah bersabda Rasulullah saw. “tidak menjadikan
haram dari penyusunan, melainkan apa-apa yang sampai dipencernaan sari susu,
dan adalah (teranggap hal ini) sebelum (anak) berhenti (dari minum susu)…”(H.R.
Tirmidzi:1072)
Fatimah binti
mundzir tidak mendengar hadits tersebut dari ummu salamah, waktu ummu salamah
meninggal Fatimah masih kecil dan tidak bertemu dengannya. Jadi, terang antara
Fatimah dan ummu salamah ada seorang rawi yang digugurkan.
3.
Hadits Mu’dhal
Hadits mu’dhal
adalah hadits yang terputus sanadnya dua perawi atau lebih secara
berturut-urut. Contoh:
اَخْبَرَنَا سَعِيدُ بْنُ سَالِمْ عَنِ بْنِ
جُرَيْجٍ اَنَّ رَسُوْلُ اللَّه صَلَى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمْ كَانَ اِذَا
رَاَى البَيْتِ رَفَعَ يَدَيْهِ(الشافعى)
“telah mengkhabarkan kepada kami sa’id bin
salim dari abu juraij, bahwa Nabi saw apabila melihat Baitullah beliau
mengangkat kedua tangannya”(asy-syafi’i)
Ibnu juraij itu tidak semasa dengan Nabi
saw bahkan masa hidupnya dibawah tabi’in. jadi, antara dia dan Rasulullah ada
dua orang perantara yaitu tabi’in dan sahabat. Karena kedua orang dari
tingakatan itu tidak ada, hadits tersebut dinamakan hadits mu’dhal.
4. Hadits Mudallas
Hadits mudallas adalah hadits yang isnadnya
tersembunyi. Baik itu tersembunyi sanadnya atau guru (syaikh)-nya. Contoh:
رَوِيَالنُّعْمَا نَ بْنُ رَاشَدٍ
عَنِالزُّهْرِيِّ عَنْ عَا ئَشَةَ اَنَّ رَسُوْ لُ اللَّه صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ
وَسَلَّمْ لَمْ يَضْرِبِ امْرَاَةً قَطُّ وَلاَ خَادِمًا اِلاَّاَنْ يُّجَاهِدَ
فِيْ سَبِيْلِ اللَّه
“diriwayatkan oleh an-nu’man bin rasyid
dari zuhri dari urwah dari ‘aisyah bahwa Rasulullah saw tidak pernah
berkali-kali memukul perempuan dan tidak juga seorang pelayan melainkan jika ia
berjihad dijalan Allah.
Ketika melihat susunan sanad ini, dapat
dikatakan bahwa zuhri mendengar riwayat itu dari urwah karena memang dia sering
meriwayatkan dari urwah.
Anggapan ini keliru karena imam abu hatim
mengatakan, bahwa zuhri tidak pernah mendengar hadits tersebut dari urwah. Ini
berarti antara zuhri dan urwah ada seorang rawi yang tidak disebut oleh zuhri.
Karena zuhri tidak mendengar riwayat
tersebut dari urwah tetapi mendengar dari rawi lain maka tersamarlah sanadnya.
Oleh karenanya hadits tersebut dinamakan mudallas. Perbuatan menyamarkan atau
menyembunyikan disebut tadlis, sedangkan orangnya disebut mudallis.
5.
Hadits Mu’allal
Hadits mu’allal
adalah hadits yang memiliki cacat (‘illat) sehingga bias menyingkap atas
ketidak shahihannya meski secara lahir tidak tampak memiliki cacat. Contoh:
حَدَّ ثَنَا اِسْحَا قُ بنُ مَنْصُرٍ حَدَّ
ثَنَا عَبدُ ا للَّه بنُ نُمَيْرٍ حَدَّ ثَنَا عُبَيْدُاللَّه بنِ عُمَرَ عَنْ نَا
فِعٍ عَنْ سِعِيْدِ بنِ اَبِي هِنْدٍ عَنْ اِبِي مُسَى الْاَشْعَارِيِّ اَنَّ
رَسُوْلُ اللَّه صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَا لَ حُرِّمَ لِبَاسُ
الْحَرِيْرِ وَالذَّ هَبِ عَلَى ذُكُوْرِاُمَّتِى وَاُحِلَّ لِاِنَاثِهِمْ(الترميدي:1642
“telah menceritakan kepada kami ishaq bin
Mansur, telah menceritakan kepada kami Abdullah bin numair, telah menceritakan
kepada kami ubaidillah bin umar dari nafi’, dari sa’id bin abi hindin, dari abi
musa al-asy’ari, bahwa Rasulullah saw bersabda: “telah diharamkan memakai
sutera ari emas atas orang laki-laki dari umatku dan dihalalkan bagi
perempuan-perempuan mereka. (H.R.Tirmidzi1642)
Secara lahir rawi terpercaya dan sanadnya
bersambung terus kepada Nabi, sanad hadits tersebut dikatakan sah. Akan tetapi,
sesudah diperiksa oleh ulama’, terdapat fakta bahwa sa’id bin abi hindin tidak
pernah mendengar hadits dari abi musa.
Disebabkan sanad tersebut secara lahir sah,
tetapi sudah diselidiki terdapat penyakit atau cacatnya, sanad hadits tersebut
hadits mu’allal.
Sementara ditinjau dari factor selain
kesinambungan sanad, hadits dlaif dibagi dalam bebeapa bagian sebagai berikut:
1. Hadits Mudha’af
Hadits mudha’af adalah hadits yang belum
terkumpul sifat dlaifnya, namun dianggap dlaif oleh ahli hadits yang lain, pada
sanad maupun matan hadits, bahkan juga dikuatkan oleh ahli hadits lain. Oleh
karena itu, hadits ini memilik derajat tertinggi dibanfingkan hadits dlaif yang
lain.
2. Hadits Mudtarib
Hadits mudtarib adalah hadits yang
diriwayatkan oleh seorang rawi atau beberawi rawi yang berbeda-beda, dimana
antara yang satu dengan yang lain salig bertentangan tanpa ada kemungkinan
membuat tarjih.
3. Hadits Maqlub
Hadits maqlub adalah hadits yang sebagian
para perawinya terbalik dalam penyebutan sebagian matanatau nama orang yang
dinisbatkan dalam sanad.
4. Hadits Syadz
Hadits syadz adalah hadits yang
diriwayatkan oleh rawi yang bisa diterima namun memiliki perbedaan dengan rawi
lain yang memiliki derajat lebih utama.
5. Hadits Munkar
Hadits munkar adalah hadits yang
diriwayatkan rawi yang dlaif (lemah), riwayatnya bertentangan dengan rawi yang
lebih stiqah.
6. Hadits Matruk
Hadits matruk adalah hadits yang
diriwayatkan oleh seorang rawi yang dlaif karena posisi rawinya dituduh berbuat
berdusta dalam hadits atau tampak sifat fasiq dalam suatu pekataan atau
perbuatan.
D. Kehujjahan Hadits
Dlaif
Ibnu Hajr Al-Asqalani memberikan beberapa
kriteria yang berkaitan dengan pengamalan hadits dlaif, antara lain:
·
Hadits dlaif dengan tingkat kedlaifan yang
tidak sangat. Syarat ini adalah syarat yang disepakati para ulama’.
·
Hadits dlaif bisa diamalkan apabila
berkaitan fada’ilul ‘amal, janji, nasihat, dan ancaman, bukan pada persoalan
akidah dan hokum.
·
Hendaknya tidak mempunyai keyakinan untuk
menetapkan hadits dlaif berasal dari Nabi, akan tetapi lebih bersikap hati-hati
dalam menisbatkan kepada Rasulullah saw.
·
Perbuatan itu masuk kebawah suatu dasar
yang umum. Karena itu, tidak masuk dalam kategori bila perbuatan itu tidak
mempunyai dasar apapun dari beberapa kaidah dalma Islam.
Kebanyakan ulama’ madzhab dalam menggunakn
hadits dlaif mempertimbangkan beberapa kriteria yang ketat, diantaranya adalah:
Madzhab kebanyakan ahli hadits dan khuffad,
termasuk didalam imam bukhari dan imam muslim menyatakan bahwa penggunaan
terhadap hadits dlaif secara mutlaq tidak diperbolehkan, baik itu dalam
persoalan-persoalan hokum, ataupun pada persoalan-persoalan ajaran agama yang
bersifat nasihat ataupun keutamaan amal. Seluruh ajaran agama harus bersumber
kepada hadits shahih dan menjadikan hadits dlaif sebagai tambahan ajaran agama
adalah tindakan yang tidak berdasarkan pada dimensi keilmuan. Pendapat ini juga
diikuti oleh Al-Qadhi Abu bakar ibn ‘Arabiy.
Penggunaan hadits dlaif di perbolehkan
secara mutlak. Pendapat ini di populerkan oleh Abu Dawud dan Imam Ahmad bin
Hambal sebagaimana di kutip oleh Imam Syuyuti. Keduanya beralasan bahwa hadis
dlaif lebih kuat bila di bandingkan pendapat para ulama. Artinya, bahwa mazhab
yang kedua ini menyatakan bahwa penggunaan hadis dlaif di perbolehkan apabila tidak
di temukan hadis sahih, hasan, ataupun fatwa para sahabat Nabi.
Mazhab ahli fiqih menyatakan bahwa
penggunaan hadis dlaif hanya berlaku pada persoalan keutamaan-keutamaan amal. Pernyataan
ini di perkuat dari riwayat yang berasal dari Abdur Rohman Bin Mahdii, sebagaimana
di keluarkan Imam Baihaqi yang menyatakan bahwa Nabi telah bersabda: pada
persoalan halal dan haram serta persoalan hokum kami sangat ketat dalam
penggunaan sanad, dan pada persoalan selain hal tersebut kami longgar dalam
mempergunakan sanad. Pendapat ini juga di ikuti oleh Ibnu Mubarok.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Secara
etimologi dlaif artinya lemah, lawan dari kuat. Istilah hadits dlaif berarti
hadits yang lemah atau hadits yang tidak kuat.
Lima persyaratan
untuk menentukan kriteria sebuah hadits, yaitu kesinambungan sanad, keadilan
rawi, ke dlabitan rawi, tidak terdapat kejanggalan (syaz), dan terhindar dari
cacat (‘illat), dapat dijadikan standar untuk menilai apakah termasuk shahih,
hasan, atau dlaif.
Dengan demikian,
hadits dlaif merupakan hadits yang salah satu syarat atau lebih dari
persyaratan-persyaratan hadits shahih atau hadits hasan tidak terpenuhi.
Mengutip dari
beberapa pendapat para tokoh ulama’ hadits tentang terangkatnya hadits dlaif
ini bias saja terjadi dengan catatan kedlaifannya tidak sangat, disamping itu
pula ada syahid yang mengkuatkannya.
Para ulama’ berbeda
pendapat dalam membagi macam-macam hadits dlaif. Al-hafiz Abdurrahim al-iraqi
(wafat tahun 806 H) membagi hadits dlaif ke dalam 42 bagian. Meski demikian,
secara garis besar pembagian hadits dlaif dapat dilihat dari dua factor utama.
Pertama factor kesinambungan sanad hadits. Kedua, factor-faktor lain diluar
kesinambungan sanad.
Kebanyakan ulama’ madzhab dalam menggunakn
hadits dlaif mempertimbangkan beberapa kriteria yang ketat.
B. SARAN DAN
KRITIK
Saran dan kritik yang mendukung sangat
diperlukan untuk memperbaiki makalah kami, karena kami tahu dalam penyusunan
makalah ini sungguh kurang dari kata sempurna dan masih banyak sekali terdapat
kesalahan.
DAFTAR PUSTAKA
Muslim, mohammad akib. 2010. Ilmu
musthalahul hadits. Kediri, jawa timur. Stain Kediri press.
Hasan, musthafa. 2012. Ilmu hadits.
Bandung. Pustaka setia.
Rosidin, mukarrom faisal. 2012. Hadits.
T.t. t.p.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar